Teori Budaya Organisasi Berdasarkan penelitian Clifford Geertz, Michael Pacanowsky, dan Nick O’Donnell-Trujillo

(Diterjemahkan Dari Buku “Introducing Communication Theory : Analysis and Application 3nd ed. Richard West dan Lynn H. Turner. Dari Sub Judul Organization Culture)

Oleh : Muslih Aris Handayani, sumadi, Mukti Ali

Pengantar Cerita:

Sebagai karyawan dari Grace’sJewelers, Fran Calahan tahu bahwa pekerjaannya berbeda dengan pekerjaan teman-temannya. Perusahan ini mempekerjakan 150 karyawan di 26 toko di Amerika Serikat bagian Tenggara dan target utama mereka adalah gadis remaja yang sering berkunjung ke mal Pendiri perusahaan ini,GraceTalmage, selalu mengunjungi karyawannya setiapminggu, membuat mereka merasa nyaman bekerja di perusahaan kecil itu.

Hubungan Fran dengan Gracese lama ini cukup baik. Mengapa tidak? la menerima komisi yang Sangat bagus dan paket perawatan kesehatan yang memadai (termasuk perawatan mata dan gigi) dan ia juga dapat bergaul dengan baik dengan supervisornya. Selain itu, Fran dan karyawan lainnya dapat memakai pakaian casual ketempat kerja mereka, dan hah’ni membuat karyawan lain di mal itu iri.Semua hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa Fran telah bekerja untuk preusan ini selama hampir sembilan tahun dan mengapa ia tidak me’miliki rencana untuk pindah—hingga saat ini.

Setelah berbisnis selama tiga puluh tahun, Grace memutuskan telah tiba saatnya bagi dirinya untuk menjual bisnisnya dan pensiun. Karena perusahaan Grace telah menunjukkan keuntungan yang cukup besar selama bertahun-tahun, Jewelry Plus, sebuah toko ritel perhiasan yang besar, memutuskan untuk menawar perusahaan tersebut. Walaupun sebenarnya Grace tidak ingin menjual perusahannya pada perusahaan reta/’/yang begitu besar, penawaran mereka terlalu menarik untuk dilewatkan. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk menjual bisnisnya, dan hal ini mengundang kekecewaan para karyawan. Fran benar-benar khawatirsetelah mendengargosip mengenai perlakuan perusahaan besar ini terhadap karyawannya dan cara perusahaan ini menjalankan kegiatan sehari-hari perusahaan. Ia diam-diam bertanya-tanya seberapa banyak perubahan akan terjadi begitu Grace menjual tokonya. Ia sangat membutuhkan pekerjaan ini, dan karenanya memutuskan untuk tetap tinggal.

Insting Fran ternyata benar. Begitu masa transisi perusahaan telah selesai, ia harus menjalani orientasi “karyawan baru”, yang artinya adalah berdiri di depan seluruh karyawan baru yang ada dan menjelaskan mengapa ia melamar di perusahaan tersebut. Salah satu dari peraturan perusahaan itu adalah peraturan berpakaian yang baru dan kebijakan baru untuk pengembalian barang. Fran tidak lagi dapat memakai pakaian kasual; sekarang ia harus memakai seragam perusahaan dan sepatu hitam berhak rendah.

Sehubungan dengan pengembalian barang, kebijakan perusahaan berubah dari “kepuasan dijamin atau 100% uang kembali” menjadi “barang yang telah dibeli harus dikembalikan dalam jangka waktu 10 hari dengan menunjukkan nota pembelian”. Walaupun Fran merasa bahwa kebijakan baru ini akan membuat banyak pelanggan berpaling, kesuksesan Jewelry Plus merupakan bukti yang cukup bahwa kebijakan ini telah berhasil sebelumnya.

Akhirnya, dengan perusahaan yang baru ini, paket perawatan kesehatannya tidak lagi mencakup penggantian biaya perawatan gigi dan mata. Kurangnya penggantian biaya ini menyebabkan terjadinya perputaran gosip. Salah satu cerita yang didengar Fran selama masa orientasinya adalah bahwa seorang karyawan kehilangan dua gigi belakangnya karena ia tidak dapat membiayai perawatan giginya!

Dengan semua perubahan yang ada dalam kebijakan toko, peraturan berpakaian, dan filosofi perusahaan, Fran dan banyak rekan kerjanya merasa kewalahan. Bahkan, banyak rekan kerja Fran yang telah bekerja bersamanya selama sembilan tahun belakangan memutuskan untuk keluar. Sebagai seorang orang tua tunggal dari pekerjaannya.

Namun lebih dari itu semua, atasan barunya benar-benar sebuah bencana! Fran dan rekan sekerjanya menamainya “Si Bayangan” karena ia selalu ada di belakang mereka ketika mereka sedang melayani pelanggan. Adanya seorang supervisor yang selalu mengamati apa pun yang yang ia lakukan sangatlah mengganggu, dan bagi Fran ini adalah hal yang sia-sia, terutama karena kebanyakan pelanggannya adalah remaja dan mereka sering kali berubah dalam perilaku pembelian mereka.

Walaupun terdapat banyak kekhawatiran, Frans mengikuti piknik perusahaan yang pertama. Ia sebenarnya tidak begitu ingin, tetapi ia merasa bahwa ia harus memberikan kesempatan ini pada perusahaan. Ketika ia dan rekan kerjanya yang baru dan lama minum es the dan makan hot dog, mereka ternyata cocok. Mantan karyawan Grace Jeweler’s bercerita pada karyawan besar itu mengenai keadaan yang dulu pernah ada. Mereka tampaknya benar-benar tertarik mendengarkan orang-orang seperti Gabby, seorang pensiunan berusia 70 tahun yang tidak bisa berhenti berbicara dengan pelanggan. Bersama-sama mereka banyak tertawa mengenai masa lalu yang menyenangkan.

Hari itu berakhir tidak seperti yang dibayangkan Frans sebelumnya. Ia telah memiliki beberapa teman baru, mengenang masa lalu, dan merasa sedikit lebih nyaman dengan masa depannya. Walaupun ia tahu bahwa atasannya akan sulit untuk dihadapi, Frans memutuskan bahwa ia akan mencoba untuk mendapatkan yang terbaik dari pekerjaannya. Paling tidak ia berpikir, ia memiliki beberapa orang yang dapat dipercaya.

Sekilas Teori Budaya Organisasi : Orang-orang adalah seperti laba-laba yang tergantung di dalam jaring yang mereka ciptakan di tempat kerja. Sebuah budaya organisasi terdiri atas simbol yang dimiliki bersama, dan tiap-tiap simbol ini memiliki makna yang unik. Kisah-kisah perusahaan, ritual, dan serangkaian ritusnya merupakan contoh dari budaya perusahaan

Pendahuluan

Setelah Anda lulus dari universitas, sangat mungkin bahwa banyak dari Anda akan bekerja untuk sebuah organisasi. Kehidupan organisasi dicirikan dengan banyak perubahan dibandingkan hal lainnya. Perubahan biasanya ditandai dengan adanya semangat, kekhawatiran, rasa trustrasi, dan rasa tidak percaya. Emosi-emosi ini biasanya akut pada masa-masa penuh tekanan; misalnya, ketika perusahaan mengadakan pemutusan hubungan kerja.

Cobalah Anda pergi ke toko buku mana saja di kampus atau di mal, dan Anda pasti akan melihat banyak buku mengenai kehidupan organisasi. Pendekatan budaya pop ini terhadap dunia korporasi Amerika ada di mana-mana. Beberapa penulis mengatakan pada kita bahwa ada 10 Cara Mudah untuk Mendapatkan Kenaikan Caji atau ada 8 Langkah Aman untuk Dipromosikan. Beberapa penulis lainnya menghasilkan jutaan dolar dengan menulis mengenai pentingnya Berkomunikasi dengan Orang-orang yang Sulit dan Bekerja untuk Hidup dan Hidup untuk Bekerja. Kebanyakan dari buku-buku ini berpusat pada apa yang dapat dilakukan orang untuk membuat hidup mereka lebih mudah di tempat kerja. Masalahnya adalah bahwa kehidupan organisasi sangat kompleks. Lebih aman untuk mengatakan bahwa hanya ada sedikit “cara mudah” untuk apa pun di dalam organisasi.

Untuk memahami kehidupan organisasi melampaui budaya pop—termasuk nilai-nilai, kisah, tujuan, praktik, dan filosofi perusahaan—Michael Pacanowsky dan Nick O’Donnell Trujillo (1982, 198, 1990) mengonseptualisasikan Teori Budaya Organisasi (Organizational Culture Theory). Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo merasa bahwa organisasi dapat paling baik dipahami dengan menggunakan lensa budaya, sebuah ide yang mulanya dikemukakan oleh seorang antropolog bernama Clifford Geertz. Mereka percaya bahwa para peneliti terbatas dalam pemahaman mereka mengenai organisasi ketika mereka mengikuti metode ilmiah menurut Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo, metode ilmiah dibatasi dengan adanya pengukuran dibandingkan menemukan sesuatu yang baru. Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo (1982) berargumen bahwa Teori Budaya Organisasi mengundang para peneliti “untuk mengamati, mencatat dan memahami perilaku komunikatif dari anggota-anggota organisasi” (hal. 129). Mereka menganut “totalitas atau pengalaman nyata dalam organisasi” (Pacanowsky, 1989, hal. 250). Para teoretikus menorehkan guratan kuas yang lebar dalam pemahaman mereka akan organisasi dengan menyatakan bahwa “budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh organisasi; budaya adalah sesuatu yang merupakan organisasi itu sendiri” (Pacanowsky & O’Donnell Trujillo, 1982, hal. 146). Budaya dikonstruksi secara komunikatif melalui praktik-praktik dalam organisasi, dan budaya adalah nyata di dalam organisasi. Bagi para teoretikus, memahami satu organisasi lebih penting daripada menggeneralisasi sekelompok perilaku atau nilai dari banyak organisasi. Pemikiran ini membentuk latar belakang dari teori ini.

Jelaslah bahwa inti dari kehidupan organisasi ditemukan di dalam budayanya. Dalam hal ini, budaya tidak mengacu pada keanekaragaman ras, etnis, dan latar belakang individu, perspektif yang telah didiskusikan dalam Bab 2. Melainkan, menurut Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo (1983), budaya adalah suatu cara hidup di dalam sebuah organisasi. Budaya organisasi mencakup iklim atau atmosfer emosional dan psikologis. Hal ini mungkin mencakup semangat kerja karyawan, sikap, dan tingkat produktivitas (Schrodt, 2002). Budaya organisasi juga mencakup semua simbol (tindakan, rutinitas, percakapan, dan seterusnya) dan makna-makna yang dilekatkan orang pada simbol-simbol ini. Makna dan pemahaman budaya dicapai melalui interaksi yang terjadi antar karyawan dan pihak manajemen. Kita memulai diskusi mengenai Teori Budaya Organisasi dengan pertama-tama menginterpretasikan budaya dan kemudian mengajukan tiga asumsi dari teori ini

Pengertian Budaya Organisasi

Sebelum melangkah pada pengertian tentang budaya organisasi, alangkah baiknya kita jelaskan dulu pengertian dari budaya itu sendiri. Kebudayaan menyinggung daya cipta bebas dan serba ganda dari manusia dalam alam dunia. Manusia pelaku kebudayaan. Ia menjalankan kegiatannya untuk mencapai sesuatu yang berharga bagi dirinya, dan dengan demikian nilai kemanusiannya menjadi lebih nyata. Melalui kegiatan kebudayan sesuatu yang sebelumnya hanya merupakan kemungkinan belaka diwujudkan dan diciptakan yang baru. Dalam kebudayaan manusia mengakui alam dalam arti yang seluas-luasnya sebagai ruang pelengkap untuk semakin memanusiakan dirinya, yang identik dengan kebudayaan alam. Kebudayaan singkatnya adalah penciptaan penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani. Berdasarkan titik tolak penelitian, kebudayaan didefinisikan secara beragam. Ahli sosiologi megatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan kecakapan-kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu, dan lain-lain) yang dimiliki manusia sebagai subjek masyarakat. Ahli sejarah menekankan pertumbuhan kebudayaan dan mendefinisikan sebagai warisan sosial atau tradisi. Ahli filsafat menekankan aspek normatif, kaidah kebudayaan dan terutama pembinaan nilai dan realisasi cita-cita. Antropologi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, pandangan hidup, dan kelakuan. Psikologi mendekati kebudayaan dari segi penyesuaian manusia kepada alam sekelilingnya atas syarat-syarat hidup. Arkheologi menaksir kebudayaan sebagai hasil artefact dan kesenian.

Berdarakan pengertian kebudayaan di atas, budaya organisasi itu didasarkan pada suatu konsep bangunan pada tiga tingkatan, yaitu: Tingkatan Asumsi Dasar (Basic Assumption), kemudian Tingkatan Nilai (Value), dan Tingkatan Artifact yaitu sesuatu yang ditinggalkan. Tingkatan asumsi dasar itu merupakan hubungan manusia dengan apa yang ada di lingkungannya, alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, hubungan itu sendiri, dan hal ini, asumsi dasar bisa diartikan suatu philosophy, keyakinan, yaitu suatu yang tidak bisa dilihat oleh mata tapi ditanggung bahwa itu ada. Tingkatan yang berikutnya Value, Value itu dalam hubungannya dengan perbuatan atau tingkah laku, untuk itu, value itu bisa diukur (ditest) dengan adanya perubahan-perubahan atau dengan melalui konsensus sosial. Sedangkan artifact adalah sesuatu yang bisa dilihat tetapi sulit untuk ditirukan, bisa dalam bentuk tehnologi, seni, atau sesuatu yang bisa didengar (Schein, 1991: 14).

Budaya organisasi merupakan bentuk keyakinan, nilai, cara yang bisa dipelajari untuk mengatasi dan hidup dalam organisasi, budaya organisasi itu cenderung untuk diwujudkan oleh anggota organisasi (Brown, 1998: 34). Robbins, (2003: 525) menjelaskan bahwa budaya organisasi itu merupakan suatu system nilai yang dipegang dan dilakukan oleh anggota organisasi, sehingga hal yang sedemikian tersebut bisa membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. Sistem nilai tersebut dibangun oleh 7 karakteristik sebagai sari (essence) dari budaya organisasi, 7 karakteristik adalah:

  1. Inovasi dan pengambilan risiko (Innovation and risk taking). Tingkatan dimana para karyawan terdorong untuk berinovasi dan mengambil risiko.
  2. Perhatian yang rinci (Attention to detail). Suatu tingkatan dimana para karyawan diharapkan memperlihatkan kecermatan (precision), analisis dan perhatian kepada rincian.
  3. Orientasi hasil (Outcome orientation). Tingkatan dimana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil.
  4. Orientasi pada manusia (People orientation). Suatu tingkatan dimana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil – hasil pada orang–orang anggota organisasi itu.
  5. Orientasi tim (Team orientation). Suatu tingkatan dimana kegiatan kerja diorganisir di sekitar tim – tim, bukannya individu – individu.
  6. Keagresifan (Aggressiveness). Suatu tingkatan dimana orang – orang (anggota organisasi) itu memiliki sifat agresif dan kompetitif dan bukannya santai – santai.
  7. Stabilitas (Stability). Suatu tingkatan dimana kegiatan organisasi menekankan di pertahankannya status quo daripada pertumbuhan.

Perspektif interpretif (subjektif) melihat budaya organisasi sebagai proses-proses pembentukan pemahaman yang membentuk realitas organisasi dan dengan demikian memberi makna kepada keanggotaannya. Konsep pembentukan pemahaman ini penting bagi perspektif interpretif, sama pentingnya dengan pemahaman yang dilaksanakan (enacted sense making) bagi teori Weick mengenai pengorganisasian. Peraga dan indikator budaya organisasi tidak muncul begitu saja. Semua ini harus dikonstruksi dan makna yang diberikan kepada peraga dan indikator tersebut harus dibangkitkan dan dibangkitkan ulang dalam interaksi. Peraga dan indikator (kisah-kisah, ritus-ritus, ritual) lebih dianggap sebagai tindakan daripada sebagai benda. Pacanowsky da O`Donnel-Trujillo (1982) berpendapat bahwa ketika para anggota mewujudkan konstruk-konstruk, praktik-praktik, dan ritual ini merupakan pencapaian kecil yang termasuk dalam pencapaian yang lebih besar lagi dalam budaya organisasi. Istilah kuncinya adalah pencapaian dalam arti bahwa hal itu menunjukkan tindakan, dan tindakan yang terus berlangsung dalam tindakan itu. Peraga dan indikator budaya dapat pula dimasukkan ke dalam rubrik luas yang disebut simbolisme organisasi. Yang penting dalam konsep pemahaman budaya ini adalah makna simbolisme untuk anggota-anggota organisasi ketika mereka membentuk realitas organisasi dan ketika mereka dibentuk oleh konstruk-konstruk mereka sendiri.

Seiring dengan bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.

Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian budaya organisasi menurut beberapa ahli :

  1. Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391), budaya organisasi adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri.
  2. Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263), budaya organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.
  3. Menurut Robbins (1996:289), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu.
  4. Menurut Schein (1992:12), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.
  5. Menurut Cushway dan Lodge (GE : 2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi dalam
    penelitian ini adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi.

Sumber-sumber Budaya Organisasi

Menurut Tosi, Rizzo, Carrol seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:264), budaya organisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1.Pengaruh umum dari luar yang luas

Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi.

2.Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat

Keyakinan-keyakinan dn nilai-nilai yang dominan dari masyarakat luas misalnya kesopansantunan dan kebersihan.

3.Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi

Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam mengatasi baik masalah eksternal maupun internal organisasi akan mendapatkan penyelesaian-penyelesaian yang berhasil. Keberhasilan mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi.

Fungsi Budaya Organisasi

Menurut Robbins (1996 : 294), fungsi budaya organisasi sebagai berikut :
a. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.

d. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
e. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

Ciri-ciri Budaya Organisasi

Menurut Robbins (1996:289), ada 7 ciri-ciri budaya organisasi adalah:
a. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko.

b. Perhatian terhadap detail. Sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail.

c. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut

d. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek pada orang-orang di dalam organisasi itu.

e. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, ukannya individu.

f. Keagresifan. Berkaitan dengan agresivitas karyawan.

g. Kemantapan. Organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi yang sudah baik.

Dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota berperilaku (Robbins, 1996 : 289).

Tipologi Budaya

Menurut Sonnenfeld dari Universitas Emory (Robbins, 1996 :290-291), ada empat tipe budaya organisasi :

  1. Akademi

Perusahaan suka merekrut para lulusan muda universitas, memberi mereka pelatihan istimewa, dan kemudian mengoperasikan mereka dalam suatu fungsi yang khusus. Perusahaan lebih menyukai karyawan yang lebih cermat, teliti, dan mendetail dalam menghadapi dan memecahkan suatu masalah.

  1. Kelab

Perusahaan lebih condong ke arah orientasi orang dan orientasi tim dimana perusahaan memberi nilai tinggi pada karyawan yang dapat menyesuaikan diri dalam sistem organisasi. Perusahaan juga menyukai karyawan yang setia dan mempunyai komitmen yang tinggi serta mengutamakan kerja sama tim.

  1. Tim Bisbol

Perusahaan berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator, perusahaan juga berorientasi pada hasil yang dicapai oleh karyawan, perusahaan juga lebih menyukai karyawan yang agresif. Perusahaan cenderung untuk mencari orang-orang berbakat dari segala usia dan pengalaman,

perusahaan juga menawarkan insentif finansial yang sangat besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat berprestasi.

  1. Benteng

Perusahaan condong untuk mempertahankan budaya yang sudah baik. Menurut Sonnenfield banyak perusahaan tidak dapat dengan rapi dikategorikan dalam salah satu dari empat kategori karena merek memiliki suatu paduan budaya atau karena perusahaan berada dalam masa peralihan.

Budaya Organisasi merupakan bagian dari manajemen sumber daya manusia dan teori organisasi. Manajemen budaya organisasi  dilihat diri aspek prilaku, sedangkan Teori organisasi dilihat dari aspek sekelompok individu yang berkerjasama untk mencapai tujuan, atau organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan sistematis untuk mencapai tujuan.

Dalam pekembangannya, pertama kali budaya organisasi dikenal di Amerika dan Eropa pada era 1970-an. Salah satu tokohnya : Edward H. Shein seorang Profesor Manajemen dari Sloan School of Management, Massachusetts Institute of Technology dan juga seorang Ketua kelompok Studi Organisasi 1972-1981, serta Konsultan budaya organisasi pada berbagai perusahaan di Amerika dan Eropa. Salah satu karya ilmiahnya Organizational Culture and Leadership.
Di Indonesia budaya organisasi mulai dikenal pada tahun 80  sampai  90-an, saat banyak dibicarakan tentang konflik budaya, bagaimana mempertahankan Budaya Indonesia serta pembudayaan nilai-nilai baru.
Bersamaan dengan itu para akademisi mulai mengkajinya dan memasukkannya ke dalam kurikulum berbagai pendidikan formal dan infomal.

Kroeber dan Kluchon tahun 1952 menemukan 164 definisi Budaya. Akan tetapi pengertian yang penulis kemukakan di sini hanya yang terkait dengan BO.
Taliziduhu Ndraha dalam bukunya Budaya Organisasi mengemukakan pendapat Edward Burnett dan Vijay Sathe sebagai berikut:
Culture or civilization, take in its wide technografhic sense, is that complex whole which includes knowledge, bilief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by men as a member of society.

Budaya mempunyai pengertian teknografis yang luas meliputi ilmu pengetahuan, keyakinan/percaya, seni, moral, hukum, adapt istiadat, dan berbagai kemampuan dan kebiasaan lainnya yang didapat sebagai anggoa masyarakat.
VijaySathe:Culture is the set of important assumption (opten unstated) that members of a community share in common. Budaya adalah seperangkat asumsi penting yang dimiliki bersama anggota masyarakat.
Edgar H. Schein :
Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi ekstrenal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan kepada angota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan dan merasakan terkait degan masalah-masalah tersebut.

UNSUR-UNSUR BUDAYA :
1. Ilmu Pengetahuan
2. Kepercayaan
3. Seni
4. Moral
5. Hukum
6. Adat-istiadat
7. Perilaku/kebiasaan (norma) masyarakat
8. Asumsi dasar
9. Sistem Nilai
10. Pembelajaran/Pewarisan
11. Masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal

Beberapa pemikir dan penulis telah mengadopsi tiga sudut pandang berkaitan dengan budaya, sebagai mana dikemukakan Graves, 1986, sebagai berikut :

  1. Budaya merupakan produk konteks pasar di tempat organisasi beroperasi, peraturan yang menekan, dsb.
  2. Budaya merupakan produk struktur dan fungsi yang ada dalam organisasi, misalnya organisasi yang tersentralisasi berbeda dengan organisasi yang terdesentralisasi.
  3. Budaya merupakan produk sikap orang orang dalam pekerjaan mereka, hal ini berarti produk perjanjian psikologis antara individu dengan organisasi.ORGANISASI
    J.R. Schermerhorn
    Organization is a collection of people working together in a division of labor to achieve a common purpose.
    Organisasi adalah kumpulan orang yang bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
    Philiph Selznick
    Organisasi adalah pengaturan personil guna memudahkan pencapaian beberapa tujuan yang telah ditetapkan melalui alokasi fungsi dan tanggung jawab.
    UNSUR-UNSUR ORGANISASI
    1. Kumpulan orang
    2. Kerjasama
    3. Tujuan bersama
    4. Sistem Koordinasi
    5. Pembagian tugas adntanggung jawab
    6. Sumber Daya Organisasi.

BUDAYA ORGANISASI

Peter F. Drucker
BO adalah pokok penyelesaian masalah-masalah ekternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada angota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait sepeti di atas.

Phithi Sithi Amnuai
BO adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota-angota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah-masalah integrasi internal.

Edgar H. Schein
BO mengacu ke suatu system makna bersama, dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu terhadap organisasi lain.

Daniel R. Denison
BO adalah nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip dasar yang merupakan landasan bagi system dan praktek-praktek manajemen serta perilaku yang meningkatkan dan menguatkan perinsip-perinsip tersebut.

Robbins,
BO dimaknai sebagai filosofi dasar yang memberikan arahan bagi kebijakan organisasi dalam pengelolaan karyawan dan nasabah. Lebih lanjut Robbins (2001) menyatakan bahwa sebuah sistem makna bersama dibentuk oleh para warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi. Dalam hal ini Robbins memberikan 7 karakteristik budaya organisasi sebagai berikut :
1. Inovasi dan keberanian mengambil resiko
2. Perhatian terhadap detail
3. Berorientasi pada hasil
4. Berorientasi kepada manusia
5. Berorientasi pada tim
6. Agresivitas
7. Stabilitas

Ahob dkk (1991) mengemukakan 7 dimensi budaya organisasi, sebagai berikut :
1. Konformitas
2. Tanggungjawab
3. Penghargaan
4. Kejelasan
5. Kehangatan
6. Kepemimpinan
7. Bakuan mutu

Berdasarkan berbagai uaraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa BO merupakan sistem nilai yang diyakini dan dapat dipelajari, dapat diterapkan dan dikembangkan secara terus menerus. BO juga berfungsi sebagai perkat, pemersatu, identitas, citra, brand, pemacu-pemicu (motivator ), pengengmbangan yang berbeda dengan organisasi lain yang dapat dipelajaridan diwariskan kepada generasi berikutnya, dan dapat dijadikan acuan prilaku manusia dalam organisasi yang berorientasi pada pencapaian tujuan atau hasil/target yang ditetapkan.

UNSUR-UNSUR BO
1. Asumsi dasar
2. Seperangkat nilai dan Keyakinan yang dianut
3. Pemimpin
4. Pedoman mengatasi masalah
5. Berbagai nilai
6. Pewarisan
7. Acuan prilaku
8. Citra dan Brand yang khas
9. Adaptasi

Unsur Budaya Menurut Susanto :
1. Lingkungan Usaha
2. Nilai-nilai
3. Kepahlawanan
4. Upacara/tata cara
5. Jaringan Cultural

Tingkatan Budaya Organisasi
1. Artifact ( Physical Characteristics; Behavior; Public Dcocuments ).
2. Espoused Value ( Strategies; Goals; Philosophies).
3. Basic Underlying Assumptions ( Biliefs; Percption; Feeling; Aspects of behavior; Internal & external relationships )

Level BO yg lain :
1. Assumsi dasar
2. Value
3. Norma Prilaku
4. Perilaku
5. Artefact

JENIS-JENIS BO

1. Berdasarkan Proses Informasi
a. Budaya Rasional
b. Budaya Idiologis
c. Budaya Konsensus
d. Budaya Hierarkis

2. Berdasarkan Tujuannya
a. Budaya Organisasi Perusahaan
b. Budaya Organisasi Publik
c. Budaya Organisasi Sosial

FUNGSI DAN DINAMIKA BUDAYA ORGANISASI

Fungsi BO
1. Perasaan Identitas dan Menambah Komitmen Organisasi
2. Alat Pengorganisasian Anggota
3. Menguatkan Nilai-Nilai dalam Organisasi
4. Mekanisme Kontrol Prilaku ( Nelson dan Quick,1997)

TIPE BO
1. Budaya Birokrasi
2. Budaya Inovatif
3. Budaya Suporatif

Sementara itu Robbins, 2001 mengemukakan Fungsi BO, sebagai berikut :
1. Pembeda antara satu organisasi dengan organisasi laiannya
2. Membangun rasa identitas bagi anggota organisasi
3. Mempermudah tumbuhnya komitmen
4. Meningkatkan kemantapan system social, sebagai perekat social, menuju integrasi organisasi.

Karakteristik BO
1. Inisiatif Individual
2. Toleransi terhadap tindakan beresiko
3. Pengarahan
4. Integrasi
5. Dukungan manajemen
6. Kontrol
7. Identitas
8. Sistem Imbalan
9. Toleransi terhadap konflik
10. Pola komunikasi

Pembentukan BO
Deal & Kennedi, mengemukakan lima unsur  pemben  BO :
1. Ligkungan Usaha
2. Nialai-nilai
3. Pahlawan
4. Ritual
5. Jaringan budaya

Proses Pembentukan BO
Proses pembentukan BO dapat di analisis dari tiga teori sebagai berikut :
1. Teori Sociodynamic
2. Teori Kepemimpinan
3. Teori pembelajaran

Menururt Kotter dan Haskett proses pembentukan BO, sebagai berikut :
1. Manager Puncak
2. Perilaku Organisasi
3. Hasil
4. Budaya

Berdasarkan pendapat tersebut, penulis dapat menyimpulkan proses pemebentukan BO, sbb. :
1. Dari Atas ( Memilik dan manajemen )
2. Dari Bawah ( masyarakat atau karyawan )
3. Kompromi dari atas dan dari bawah.

Mempertahankan BO
a. Praktek Seleksi
b. Manajemen Puncak
c. Sosialisasi dan Internalisasi

ASUMSI DASAR BO
1. Artifak dan Kreasi ( semua fenomena/gejala ).
2. Nilai-nilai ( filosofi, Visi dan misi, tujuan, larangan-larangan, standar.
3. Asumsi dasar ( hubungan dengan lingkungan, hakikat, waktu dan ruang, sifat manusia, aktivitas mansia dll)
4. Simbol atau lambang-lambang
5. Perspektif ( Norma sosial dan peraturan baik tertulis/tidaktertulis yang mengatur Organisasi sebagai tempat atau wadah dimana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin danterkendali, dalam memanfaatkan sumber daya organisasi ( uang, material, mesin, metode, lingkungan, sarana-parasarana, data, dll ) secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Kerjasama dimaksud adalah kerjasama yang terarah pada pencapaian tujuan. Kerjasama yang terarah tersebut dilakukan dengan mengikuti pola interaksi antar setiap individu atau kelompok. Pola interaksi tersebut diselaraskan dengan berbagai aturan, norma, keyakinan, nilai-nilai tertentu sebagaimana ditetapkan oleh para pendiri organisasi itu. Keseluruhan pola interaksi tersebut dalam waktu tertentu akan membentuk suatu kebiasaan bersama atau membentuk budaya organisasi.

Menurut pendapat Tika (2006:1) Budaya Organisasi merupakan bagian dari kuriukulum Manajemen Sumber Daya manusia dan Teori Organisasi. Budaya organisasi dalam MSDM, ditemukan saat mengkaji aspek prilaku, sedangkan Budaya Organisasi dalam Teori organisasi, ditemukan saat mengkaji aspek sekelompok individu yang berkerjasama untuk mencapai tujuan, atau organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan sistematis untuk mencapai tujuan.

Dalam pekembangannya, pertama kali Budaya Organisasi dikenal di Amerika dan Eropa pada era 1970-an. Salah satu tokohnya : Edward H. Shein seorang Profesor Manajemen dari Sloan School of Management, Massachusetts Institute of Technology dan juga seorang Ketua kelompok Studi Organisasi 1972-1981, serta Konsultan Budaya Organisasi pada berbagai organisasi di Amerika dan Eropa. Salah satu karya ilmiahnya : Organizational Culture and Leadership.

Di Indonesia Budaya Organisasi menurut Ndraha ( 1997 : 3) mengemukakan bahwa sejak tahun 80-an saat sektor swasta berkesempatan mengembangkan usaha di bidang non-migas, kebutuhan akan pembudayaan nilai-nilai baru tentang kewirausahaan dan amanejemen. Alvin dan Heide Toffler menyebutnya ?wave?. Kemudian pada tahun 90-an banyak dibicarakan tentang kebutuhan niali-nilai baru, konflik budaya, dan bagaimana mempertahankan Budaya Indonesia serta pembudayaan nilai-nilai baru.Bersamaan dengan itu para akademisi mulai mengkajinya dan memasukkannya ke dalam kurikulum berbagai pendidikan formal dan infomal. Salah satu pakar yang cukup gigih mengembangkan Budaya Organisasi adalah Taliziduhu Ndraha, seorang pakar Ilmu Pemerintahan.

Pengertian Budaya Organisasi

1. Pengertian Budaya

Kajian terhadap konsep budaya, peneliti memulainya dengan pendapar Koentjaraningrat (2004 : 9), menurutnya, istilah budaya berasal dari kata bahasa latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah atau bertani. Kemudian dalam bahsa ingris disebut Culture. Menurut Kotter dan Haskett (1992 :3) menyatakan, bahwa perhatian masyarakat akademik terhadap budaya berasal dari studi antropologi sosial yang pada akhir abad 19 melakukan studi terhadap masyarakat primitif seperti Eskimo, Afrika dan penduduk asli Amerika. Studi tersebut mengungkapkan, bahwa cara hidup anggota-anggota masyarakat initidak hanya berbeda dengan cara hidup masyarakat maju teknologi di Eropa damn Amerika Utara, tetapi juga berbeda diantara masing-masing masyarakat primitif tersebut.

Kroeber dan Kluchon tahun 1952 telah menemukan tidak urang dari 164 definisi Budaya. Akan tetapi pengertian yang peneliti kemukakan di sini hanya yang terkait dengan Budaya Orgaisasi. Ndraha ( 1997 : 43 ) ) mengemukakan pendapat Edward Burnett dan Vijay Sathe, sebagai berikut :

Edward Burnett Tyllor (1832-1917)
Culture or civilization, take in its wide technografhic sense, is that complex whole which includes knowledge, bilief, art, morals, law, custom and any other capabilities and habits acquired by men as a member of society.
Budaya mempunyai pengertian teknografis yang luas meliputi ilmu pengetahuan, keyakinan/percaya, seni, moral, hukum, adapt istiadat, dan berbagai kemampuan

Vijay Sathe ( 1985)
Culture is the set of important assumption (opten unstated) that members of a community share in common. dan kebiasaan lainnya yang didapat sebagai anggoa masyarakat.
Budaya adalah seperangkat asumsi penting yang dimiliki bersama anggota masyarakat.

Edgar H. Schein ( 1992)
Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi ekstrenal dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik dan oleh karena itu diajarkan/diwariskan kepada angota-anggota baru sebagai cara yang tepat memahami, memikirkan dan merasakan terkait degan masalah-masalah tersebut.

Hofstede (dalam Pheysey, 1993 : 4) mengartikan budaya sebagai nilai – nilai (values) dan kepercayaan (beliefs) yang memberikan orang-orang suatu cara pandang terprogram (programmed way of seeing). Dengan demikian budaya merupakan suatu cara pandang yang sama bagi sebahagian besar orang. Selanjutnya Pheysey (1993 : 4) menartikan nilai-nilai sebagai segala sesuatu yang dimuliakan ( esteemed), dijunjung (prized), atau dihargai (appreciated) dalam budaya tersebut. Sedangkan kepercayaan diartikan sebagai apa yang seseorang anggap benar (true).

Dengan demikian sebagai bentuk atau wujud dari pengertian budaya dapat dilihat dalam tiga hal, yaitu : Pertama bahwa budaya itu absatrak (ideal), budaya itu merupakan kepercayaan, asumsi dasar, gagasan, ide,moral, norma, adapt-istiadat, hokum atau peraturan; Kedua budaya itu berupa sikap yang merupakan pola prilaku atau kebiasaan dari kegiatan manusia dalam lngkungan komunitas masyarakat, yang menggambarkan kemempuan beradaftasi baik secara internal maupun eksternal; Ketiga budaya itu nampak secara fisik yang merupakan bentuk fisik dari hasil karya manusia.
Beberapa pemikir dan peneliti telah mengadopsi tiga sudut pandang berkaitan dengan budaya, sebagai mana dikemukakan Graves, 1986, sebagai berikut :

1. Budaya merupakan produk konteks pasar di tempat organisasi beroperasi, peraturan yang menekan, dsb.
2. Budaya merupakan produk struktur dan fungsi yang ada dalam organisasi, misalnya organisasi yang tersentralisasi berbeda dengan organisasi yang terdesentralisasi.
3. Budaya merupakan produk sikap orang orang dalam pekerjaan mereka, hal ini berarti produk perjanjian psikologis antara individu dengan organisasi.

Ndraha ( 1997 : 45 ) mengemukakan fungsi budaya, sebagai berikut :
a. Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat.
b. Sebagai pengikat suatu masyarakat.
c. Sebagai sumber inspirasi, kebanggaan dan sumber daya.
d. Sebagai kekuatan penggerak.
e. Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah.
f. Sebagi pola prilaku.
g. Sebagai warisan.
h. Sebagai pengganti formalisasi.
i. Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan.
j. Sebagai proses menjadikan bangsa kongruen dengan negara, sehingga
tebentuk nation ? state.

Manusia, baik secara individu-individu , di dalam kelompok dan organisasi memiliki naluri keinginan untuk dikenal oleh manusia lainnya atau oleh lingkungannya. Oleh karena itu menusia akan selalu berusaha melakukan sesuatu yang berbeda baik dalam sikap atau prilaku yang khas , maupun dalam bentuk hasil karya tertentu, sehingga kemudian orang lain atau orang-orang disekitarnya akan segera mengenalnya. Prilaku tertentu atau hasil karya tertentu, akan menjelma menjadi identitas dan citra manusia baik secara individu, kelompok, organisasi bahkan komunitas masyarakat tertentu. Sebagai contoh, kita mengenal sikap atau perilaku orang Jawa yang lamban dan sopan. Orang Batak yang tegas; Orang Barat yang rasional. Kemudian secara fisik kita mengenal rencong dari Aceh; Keris dari Yogyakarta, Batik dari Solo, Kain borderan dari Tasikmalayan, dll. Kita mengenal produk-produk barang dengan merek tertentu, seperti merek Air Minum Dalam kemasan Aqua Ades dan lain sebagainya. Kita juga mengenal orang Betawi asli dari logat bahasanya atau kata-kata atau kalimatnya diakhirir huruf e: mau kemane? Kita juga mengenal orang Jawa, orang sunda, orang batak, salah satunya kita kenal dari bahasanya atau cara merelk berkata atau berbicara. Zaman dimana kita hidup ini (abad 21 ) sering disebut sebagai abad modern. Salah satunya disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengasilkan barang-barang serba canggih dan hal tersebut merupakan cirri atau identitas dari sutu peradamab yang modern. Kita mengenal sustu Negara di dunia antara laian karena identitas atau cirri atau citra dari Negara tersebut. Amerika, Indonesia, Cina atau Negara manapun di dunia, dikenal dengan bahasanya, lambang negaranya, idiologinya, cirri fisiknya, warna kulitnya, perilaku atau gaya hidunya. Dll.

Budaya dalam konteks komunitas manusia, baik itu dalam bentuk kelompok, organisasi, suku bangsa atau Negara memiliki fungsi yang strategis,yaitu sebagai pengikat, perekat hingga membentuk satu kesatuan yang utuh sebagai suatu kelompok, organisasi, suku tertentu dan bahkan Negara. Akibat kita kita mengenal budaya Cina, maka dimanapun mereka, kita pasti mengetakan dia orang Cina. Kemudian kita juga meganal orang Indonesia dengan ragam budayanya yang dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika.

Budaya menjadi sumber inspirasi, kebanggaan dan sumber daya. Bagi siapapun terutama bagi kalangan internal suatu komunitas suku tertentu, budaya akan menjadi sumber inspirasi dalam menggembangkan dan memberdayakan budayanya sehingga menjdi kebanggaan bagi sukutertentu bahkan lebih luas lagi bagi Negara dimana suku bangsa tersebut eksis. Kita mengenal budaya suku minangkabau, suku Papua, Suku Jawa, Suku Batak, Aceh, Palembang, Suku Bali. Dari keragaman budaya tersebut, muncul ide untuk mengembangkan budaya tersebut sebagai komoditi dalam rangka pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan. Tidak sedikit, suatu daerah bisa sejahteran karena kebanggaan dan pemebrdayaan budayanya, bahka budaya telah menjadi unsure utama komoditas bisnis pariwisata.

Budaya juga menjadi kekuatan penggerak yang mampu membangkitkan semangat juang untuk memerdekakan dan memajukan sutu daerah atau suatu Negara. Dalam era Globalisasi, dimana, salah satu cirinya adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yag demikian cepat. Sebagai produk atau wujud budaya, kemajuan IPTEK tersebut mendorong manusia di berbagai dunia untuk bergerak maju lebih cepat dari Negara lain. Globalisasi telah memunculkan budaya baru, yaitu budaya kompetisi, budaya persaingan, budaya cepat dan akurat, budaya teknologi komunikasi. Setiap Negara berusaha untuk mengaksesnya dan berusaha mencari keunggulan masing-masing agar menjadi pemenang dalam kancah kompetisi tersebut. Setiap Negara berusaha dengan berbagai upaya dan mengerahkan sumber dayanya agar eksis dalam bidang tertentu.

Saat ini kita mengenal adanya budaya jawa, sunda, betawi, dll. Hal itu sebagai akibat dari adanya proses pewarisan atau proses dimana telah terjadi tranformasi budaya dari maktu ke waktu dari satu generasi ke genarasi yang lain, baik disengaja atau terprogram mauopun secara alamiah. Mugkin, tanpa disadari, kita sendiri telah menjadi bahaguan dari proses tersebut, dan ini telah , sedang dan akan terus terjadi, selama manusia masih memiliki rasa ego atau kebanggaan akan jati dirinya. Saya bangga menjadi salah seorang putra daearah. Saya bangga menjdadi sal;ah seorang oputra Indonesia. Nampaknya secara formal, lembaga pendidikan, telah menjelma menjadi mesin pengolah dan pendistribusi, dan agen dari proses pewarisan budaya tertentu.

Budaya juga berfungsi sebagai mekanisme dalam berdadaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi baik di dalam maupun di luar organisasai. Proses adaptasi tersebut, dibutuhnya agar tidak terjadi konflik antar budaya. Mekanisme adaptasi, menjadi cirri kedewasaan individu, kelompok, organisasi bahkan masyarakat suatu Negara tertentu. Kepentinga-kepentingan individu, golongsan, bahkan dalam skala nasional, tidak menjadikan ?egois? menutup diri, terisolir dari kemajuan yang terjadi di sekitarnya, justru mekanisme adaptasi yang berjalan dengan tepat dan ditak akan merugikan dirinya dan juga orang lain. Dengan dayua adaptasi, kehidupan dapat berjalan secara harmonis, tenteram aman dan damai. Karena esesnsi adaptasi sesungguhnya adalah saling menghargai kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Dapat pula dikatakan bahwa budaya merupakan asset yang sangat berharga yang dapat digunakan sebagai modal dasar dalam membangun dan mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejahtera, adil dan bermartabat. Karena dengan budaya kita bisa dikenal, bisa hidup berdampingan secara sehat dan harmonis. Budaya sebagai proses telah menghantarkan atau menjadikan suatu komunitas masyarakat atau suatu bangsa kongruen dengan negara, sehingga tebentuk Negara bangsa atau sebuah nation ? state yang dikenal dan dicintai karena komitmennya pada nialai-nulai , perilaku atau sikapnya dan kerana karya terbaiknya.

2. Pengertian Organisasi

Berbagai kebutuhan hidup yang tidak terbatas dan kemampuan yang terbataslah yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan manusia lainnya. Hal ini diperkuat dengan pendapat,bahwa manusia merupakan mahluk social. Sejalan dengan tingkat kematangan (keinginan dan kemampuannya), hubungan tersebut terus bergerak dinamis dimuali dari tingkat yang sederhana, hingga tingkat hubungan yang modern. Organisasi, merupakan wadah atau alat dimana segenap keinginan dan kemampuan sejumlah atau sekumpulan orang bersatu, mengikat diri dalam rangka usaha memenuhi kebutuhannya. Jika dilihat dari proses terbentuknya dan kegunaannya, organisasi juga merupakan salah satu fungsi Budaya, yaitu sebagai pengikat suatu masyarakat, berisi pola prilaku,dll. Hal ini sejalan dengan pendapat Ndraha (1997: 53) yang menyimpulkan pendapat beberapa pakar yang menyebutkan bahwa Organisasi sebagai gejala social dan sebagai living organism, dan untuk lebih jelasnya , berikut ini definisi organisasi yang dikemukakan oleh para pakar tersebut :

Robbins (1990 : 4 ) mengartikan organisasi sebagai “A consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary that functions on a relatively continous basis to achieve a common goal or set of goals.”

Brown and Moberg (1980 :6), mendefinisikan sebagai berikut :
“Organization are relatively permanent social entities characterized by goal-oriented behavior, specialization and structure. Barnard mendefinisikan Organisasi sebagai  Cooperation of two or more persons, a sytems of consciously coordinated personnel activites or forces.”

Selznick, mengatakan Organisasi sebagai “The arrangement of personnel for facilitating the accomplishment of some agree purpose through the allocation of function and responsibilities”

Berdasakan pengertian oraginasi tersebut, peneliti berkesimpulan bahwa Organisasi merupakan sekumpulan orang yang bekerjasama dengan pembagian atau alokasi tugas dan tanggung jawab tertentu dalam system koordinasi dan pengaturan guna memudahkan pencapaian beberapa tujuan yang telah ditetapkan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, peneliti menentukan unsur-unsur organisasi, sebagai beriku :
1. Kumpulan orang
2. Kerjasama
3. Tujuan bersama
4. Sistem Koordinasi
5. Pembagian/alokasi tugas dan tanggung jawab
6. Sumber daya organisasi ( material, uang, informasi, metode, lingkungan, budaya,dll ).

Sebagai salah satu bentuk atau wujud dari organisasi tersebut, adalah negara. Hal ini sesuai dengan pendapat Salam ( 2002 : 40 ) yang menyatakan bahwa :
Negara merupakan suatu bentuk organisasi kekuasaan masyarakat yang berupaya mengatur interaksi atar anggota masyarakat atau penduduknya dalam suatu wilayah hokum tertentu berdasarkan kesepakatan diantara mereka baik mengenai cara pencapaan maupuntujuanyang akan di capai agar mereka dapat hidup sedcara harmonis dan meninkat kesejahteraanna secar adil makmur. sesuai dengan kajian ilmu pemerintahan?

Pendapat tersebut, mempertegas, bahwa yang dimaksud organisasi dalam kajian pustaka ini adalah Negara. Salah satu unsur Negara adalah pemerintah, yang menjadi objek forma ilmu pemerintahan. Sedangkan yang menjadi objek material ilmu pemerintahan adalah kegiatan dan hubungan hubungan pemeritahan.

3. Perspektif, Pengertian dan Peran Budaya Organisasi

Intensitas kajian terhadap budaya organisasi ternyata berbeda-beda atar satu pakar dengan pakar lainnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh presfektif atau aliran dalam teori organisasi. Dari nama aliran juga terdapat perbedaan, akan tetapi dari segi substansi bahasan terdapat tumpang tindih. Misalkan, Hatch (2000:5) menyajikan empat prespektf yaitu : Classical, Modern, Syimboloic iterpretatif dan Postmodern. Shafritz dan Ott ( 2001 : viii), menyajikan sembilan aliran, yaitu : Classical organization theory, Neoclassical organization theory, Human resources theory atau Organizational behavior theory, Modern structural organization theory, Syaytem theory and organizational economics, Power and politics organizational theory, Organizational culture and sense making, Organizational culture reform movement dan Postmodernism and the Information age.

Budaya organisasi dalam prespektif Hatch membahas perspektif symbolic interpretative, sedangkan menurut Shafritz dan Ott, budaya organisasi secara khusus dibahas pada prespektif ke tujuh yaitu Organizational Culture and Sense making dan pada perpektif ke delapan, yaitu : Organizational Culture Reform Movements. Hatch, Shafirtz dan Ott mempunyai kesamaan pada penamaan prespektif awal sebagai prespektif klasik dan juga pada prespektif akhir, yaitu postmodern, namanya berbeda dalam penamaan perspektif lainnya. Selanjutnya Brown (1998 : 5) mengajukan empat aliran dalam teori organisasi dan sejauhmana pengaruh masing-masing aliran ini terhadap perkembangan budaya organisasi, yaitu : aliran Human relation, Modern structural theory, System theori dan power and politics.

Aliran human relation berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an yang dipelopori oleh Chris Argyris dan Warren Bennis. Kemudian aliran ini dikembangkan atas dasar teori baru tentang motivasi dan dinamika kelompok. Aliran ini menekankan bahwa organisasi eksis untuk melayani kebutuhan manusia. Sumbangan aliran ini kepada teori organisasi, khususnya terhadap budaya organisasi adalah tentang pengkajian konmsep-konsep : belief, values dan attitude yang turut mempertajam perspektif budaya.

Sedangkan aliran modern struktural theory yang dipeloporioleh Lawrence dan Lors pada tahun 1960-an menekankan pada organisasi yang rasional, berorientasi pada tujuan dan bersifat mekanistis, dengan issu utamanys adalah wewenang dan hierarki yang tercermin dari struktur organisasi. Aliran ini menekankan pada konsep-konsep diferensiasi dan integrasi dimana para teoritis budaya terlibat juga di dalamnya, tetapi aliran ini hanya mempunyai pengaruh minimal terhadap perkembangan prespektip budaya.

Aliran systems theory diperkuat oleh Katz dan Kahn pada tahun 1996. Aliran ini menyatakan bahwa cara terbaik mempelajari organisasi adalah dengan sistem interdepedensi yang mengaitkan inputs-outputs dan feedback. Kecenderungan para ahli budaya yang membahas budaya sebagai suatu sistem budaya dari pada budaya yang merupakan pengaruh dari aliran ini. Prespektif budaya terpengaruh oleh aliran ini anatara laian pada konsep-konsep analisa organisasi terhadap lingkungan, ketidakpastian, dan keterbatasan lingkup pekerja.

Aliran power politics dimulai pada tahun 1970-an yang dipelopori oleh antara lain Pfeffer yang menyatakan bahwa organisasi adalah kompleksitas individu-individu dan koalisi-koalisi yang berbeda dan sering berkompetisi dalam nilai, kepentingan dan preferensi. Aliran ini memiliki dengan prespektif budaya antara lain pada pendapat bahwa adakalanya bertindak irasional dan bahwa tujuan dan sasaran timbul melalui proses negosiasi dan pengaruh terhadap organisasi dan kewlompok-kelompok. Pada tahun 1970-an ini, Cartwright ( 1999 :6 ) menyatakan  Xenikon dan Furnham menyatakan bahwa ide budaya organisasi mulai memasuki literatur manajemen pada tahun 1970-an. Akan tetapi, Peter dan Waterman ( 1997 :2002 ) mengungkap bahwa ada peneliti sebelumnya/pendahulu ynag mnyempaikan laporan penelitian tentang budaya organisasi, sebagaimana terungkap pada pernyataan sebagai berikut :
There’s nothing new under the sun. Selznick and Barnard talked about culture and value shaping forty years ago. Herbert Simon began talking about limits to rationality at the same time. Chander began writing about environment linkage thirty years ago. Weick began writing about evolutionary analogues fifteen years ago.

Ungkapan tersebut menyatakan bahwa studi budaya organisasi telah ada sejak tahuan 50-an, sebelum kedua peneliti tersebut melakukan penelitian terhadap perusahaan Amerika Serikat yang hasilnya ditulis dalam buku In Search of Excelence tahun 1980. Kemudian pada thun 80-an ini budaya oragnsiasi secara intensif dikaji kembali yang ditandai dengan terbitnya 4 (empat) buku monumental. Kempat buku tersebut masing-masing ditulis oleh Wiliam Ouchi (1981) yang berjudul Theory Z, Pascale dan Athos (1981) yang berjudul The Art Of Japanese Managemen, Deal dan Kenedi (1981) yang berjudul corporate Culture, dan Peter dan Waterman (1982) yang berjudul In Search Of Exelence. Dengan adanya empat buku yang dilanjutkan dengan buku-buku lain, maka studi terhadap budaya tidak lagi menjadi monopoli studi Antropologi social dan entografi. Budaya menjadi salah satu konsep penting dalam membahas teori organisasi selain Phisical structure, technology dan social structure.

Rosenbloom dan Goldman (2005 : 491-501) menilai empat asumsi Leonard D. White tentang administrasi negara yakni a single process , management not law, the heart of Government , dan art and science sebagai budaya administrasi lama. Keempat asumsi White mendapat sanggahan dari Rosenbloom dan Goldman. Kedepan budaya administrasi baru menurut kedua peneliti ini adalah: recognition of complexity, personal responsibility, protection of Constitutional Right, Representation, participation dan information.

Pollitt dan Bouckaert (2000 : 52-53) menyatakan dalam rangka reformasi administrasi public mengidentifikasikan dua pola nilai-nilai dan asumsi-asumsi administrasi public yang disebut sebagai filsafat dan budaya kepemerintahan. Dua budaya administrasi tersebut adalah Rechtsstaat dan public interest. Dalam perspektif Rechtsstaat Negara adalah pusat integrasi kekuatan dalam masyarakat dan sangat perduli terhadap persiapan, sosialisasi dan pelaksanaan hukum. Dari pegawai paling atas sampai kepada bawahan dilatih disosialisasikan hukum. Sistem ini menghendaki suatu hirakhi pengadilan administratif seperti Counseil d’Etat di Prancis dan Bundesverwaltungsgericht di Jerman dalam persepektif publik interest tentu saja semua penduduk tunduk dibawah hukum, akan tetapi hukum lebih banyak menjadi latar belakang dari pada latar depan dan banyak pegawai senior yang tidak berpendidikan khusus.

Saat ini, pada dekade awal tahun 2000-an, perhatian terhadap budaya organisasi masih tetap tinggi. Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dalam rangka meningkatkan kinerja departemen pemerintahaan menyusun buku Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Pemerintah ( KEPMENPAN Nomor : 25/KEP/M.PAN/4/2002). Kemudian berbagai program study pascasarjana di berbagai Perguruan Tinggi juga telah mencantumkan matakuliah Budaya Organisasi, yang dalam lima tahun sebelumnya belum pernah ditawarkan sebagai suatu mata kuliah sendiri. Lembaga-lembaga pemerintah dan swasta berupaya untuk merumuskan visi dan misi lembaga masing-masing sebagai artifak yakni salah satu unsur dalam konsep budaya organisasi. Presiden Republik Indonesia dalam berbagai kesempatan mengharapkan budaya unggul dari rakyat Indonesia dan menegaskan penghentian budaya komisi, mark-up, dan pengadaan barang fiktif.

Selanjutnya, salah satu konsep tentang budaya organisasi yang menjadi rujukan dalam mempelajari teory organisasi pada umumnya dan budaya organisasi pada khususnya adalah apa yang oleh Peters dan Waterman ( 1982 : 42) disebut sebagai McKYNSEY 7-S FRAMEWORK, yang terdiri dari tujuh buah konsep yang saling terkait laksana sebuah mutiara. Enam buah konsep dalam bentuk lingkaran yang dihubungkan dengan tali-temali, masing-masing Strategy, Structure, Style, Staff dan Skill saling terkait dan ditenggahnya adalah lingkaran ShareValues yang tidak lain adalah budaya organisasi.

Peter dan Waterman ( 1982 : 139) menyatakan, bahwa dalam pengertian organisasi, budaya atau shared values adalah cerita-cerita, mitos, legenda yang muncul menjadi sangat penting dalam kehidupan suatu organisasi. Tanpa pengecualian, dominasi dan koherensi budaya telah membuktikan sebagai kualitas pokok tersendiri. Lagi pula makin kuat suatu budaya organisasi, dan makin diarahkan kearah tempat pemasaran, maka makin kurang kebutuhan kebijakan, bagan organisasi dan aturan serta prosedur terinci.

Menurut Senge ( 1990 : 208) menyabutkan istilah Visi bersama (Shared Vision) sangat penting dalam sebuah organisasi, karena visi yang dimiliki bersama mendorong anggota organisasi, karena visi yang dimiliki bersama mendorong anggota organisasi bersedia berkorban dalam mencapai tujuan bersama di dalam organisasi. Dengan mengambil contoh kisah Spartacus, seorang pemimpin budaya yang berontak ingin bebas dari kekuasaan Romawi, yang pada mulanya menang terhadap tentara Romawi, akan tetapi pada akhirnya ia kalah. Jendral Romawi, Marcus Crassus, secara lantang menyatakan kepada para budak yang telah dikalahkan Katakan kepadaku siapa Spartacus, maka setelah hening sejenak Spartacus pun menjawab: sayalah Spartacus. Namun dalam waktu yang hampir bersamaan setiap budak mengaku dirinya sebagai Spartacus, walaupun mereka tahu akibat mengaku sebagai Spartacus ganjarannya adalah hukum salib sampai mati. Mengapa anak buah Spartacus berani menantang hukum salib tersebut jawabannya tidak lain adalah semua budak-semua anggota organisasi- mempunyai visi yang sama, bahwa jika mereka menang mereka akan menjadi manusia yang bebas. Loyalitas anak buah Spartacus bukan kepada pribadi Spartacus tetapi kepada visi bersama. Selanjutnya Senge ( 1990 : 205) mengemukkan
“But the loyalty of Spartacus’s army was not to Spartacus the man. Their loyality was to shared vision which Spartacus has inspired- the idea that they could be free-man. The vision was so compelling that no man could bear to give it up and return to slavery.” 

Visi bersama adalah visi yang betul-betul dimiliki bersama, bukan visi individual pemimpin. Ini berarti bahwa apa yang dilihat seorang pemimpin juga dilihat oleh seluruh anggota organisasi. Visi yang sama akan mengakibatkan komitmen bersama tentang gambar yang sama yang akan dicapai dimasa yang akan dating. Pemimpin dan angota organisasi diikat bersama oleh aspirasi yang sama. Dalam sejarah perkembangan Islam, seorang budak yang bernama Bilal bin Rabbah, karena Shared Vision yang dilihatnya kedepan bahwa ia akan terbebas dari perbudakan, dan ia akan mempunyai derajat yang sama dengan sesama muslim tanpa melihat warna kulitnya. Berdasarkan visi ini, maka ia berani menantang maut ditindih dengan batu besar, ia tetap pada pendirianya.
Selanjutnya Senge menyatakan, bahwa visi bersama adalah awal yang memungkinkan angota organisasi yang selama ini tidak saling mempercayai menjadi bekerja sama. Visi bersama merupakan kemudi dalam menghadapi keraguan dan tekanan-tekanan, dan merupakan pengungkapan cara berpikir. Visi bersama menciptakan suatu identitas, tingkatpaling basis dari kesamaan sesama anggota organisasi, dan merupakan dorongan luar biasa untuk melaksanakan tugas. Ungkap Presiden J.F. Keneddy pada awal tahun 1960-an: ?to have man on the moon by the end of the decade? menjadi visi bersama yang mendorong seluruh pimpinan dan staf NASA untuk menyelesaikan tugas mereka, mendaratkan orang di bulan sebelum akhir decade. Dan terbukti NASA berhasil mendaratkan Apollo di permukaan bulan pada tahun 1969. mengapa amerika menang dati rusia dalam perlombaan ruang angkasa ini  . Kaitannya dengan haltersebut Shafritz dan Russel ( 1997 : 43 ), mengatakan :
The American wan because they head managers, public administratiors, who whre not nesesssharily more capable as individual but decidely capable whith political, organizational, and cultural and vironment. NASA not only won they Space race, but it became the national exemplar of managerial Exellence.

Setelah memahami prespektif budaya organisasi sebagaimana kajian di atas, maka untuk lebih memahami budaya organisasi, peneliti mengemukakan dan mengkaji beberapa pengertian budaya organisasi yang befrhasil dihimpun oleh Andreas Lako ( 2004 : 29-33), sebagai berikut :

1) Luthans (1998)
Budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yangmengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berprilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya.

2) Sarplin ( 1995)
Budaya organisasi merupakan suatu sistem nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksidengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi.

3) Stoner ( 1995)
Budaya organisasi sebagai suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma prilaku dan harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi.

4) Davis (1984)
Budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai-nilai organisasi yang difahami, dijiwaidan dipraktikkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan artitersendiri dan menjadi dasar aturan berprilaku dalamorganisasi.

5) Schein (1992)
Budaya ofrganisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan, atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi maslah-masalahnya yagtimbul akibat aaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada angota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikiran dan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah tersebut.

6) Monde dan Noe (1996)
Budaya organisasi adalah sistem dari shared value, keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku. Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan.

7) Hodge (1996)
Budaya organisasi sebagai konstruksi dari dua tingkat karakteristik, yaitu karakteristik organisasi yang kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan (unobservable). Pada level observable, Budaya Organisasi mencakup beberapa aspek organisasi seperti arsitektur, seragam, pola prilaku, peraturan, legenda, mitos, bahasa, dan seremoni yang dilakukan organisasi. Sementara pada level unobservable, Budaya Organisasi mencakup shared values, norma-norma, kepercayaan, asumsi-asumsi para anggota organisasi untuk mengelola masalah-masalah dan keadaan-keadaan di sekitarnya. Budaya Organisasi juga dianggap sbagai alat untuk menentukan arah organisasi. Mengarahkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber daya organisasi, dan sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan.

Peneliti mensikapi beberapa p-engertian Budaya Organisasi di atas, bahwa secara garis bessar budaya organisasi memiliki dua sifat, yaitu budaya organisasi yangbersifat kasatmata, jelas terlihat, berupa seragam, logo dll., dan budaya organisasi yang tidak terlihat berupa nilai-niali yang ada, difahami dan dilaksanakan oleh sebagahagian besar orang dalam organisasi. Kedua sifat tersebut berfungsi sebagai identitas organisasi, sehingga orang diluar organisasi akan mudah mengenal organisasi dari identitas tersebut, dan juga penentu arah setiap perilaku orang-orang dalam organisasi.

Pneliti menyimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan salah satu asset atau sumber daya organisasi yang menjadikan organisasi dinamis dengan karakteristik fisik (observable) maupun non-fisik (unobservable) yang khas berisi asumsi-asumsi, nilai-nilai, norma, komitmen dan kepercayaan, bermanfaat untuk mendorong dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi publik maupun privat. Pendapat peneliti tersebut, sejalan dengan pendapat dari Hal ini sejalan dengan pendapat Piti Sithi-Amnuai, (dalam Ndraha, 1997 :102) mendefinisikan budaya organisasi : “Aset of basic assumptions and beliefs that are shared by members of an organization, being developed as they learn to cope with problems of eksternal adaption and internal itegration. “

Kajian terhadap pengertian budaya organisasi juga mempertegas dan memperjelas peran budaya organisasi sebagai alat untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, bagaimana mengalokasikan dan memanage sumber daya organisasional ( SDM, Teknologi. Uang, Material, Informasi, Metode, dll ), dan juga sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang yang datang dari lingkungan organisasi, terutama kekuatan ini bersumber dari nilai-nilai fundamental organisasi, Martin, 1992 ( dalam Lako, 2004 : 31), berpendapt bahwa budaya organisasi mrupakan sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan karyawan; kemauan untuk menerima resiko; kebebasan atau minat karyawan untuk memberi ide-ide baru; keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara bebas dan bertanggung jawab.
Kajian terhadap pengertian budaya organisasi tersebut, disimpulkan bahwa terdapat beberapa unsur atau elemen budaya organisasi, sebagai berikut :
1) Lingkungan organisasi, meliputi : lingkungan intern ( SDM, Teknologi, Peraturan-peraturan, Material, Strktur Organisasi, Tugas pokok dan fungsi, dll). Lingkungan ekternal ( IPOLEKSOSBUDHANKAM, dll ).
2) Karakteristik Organisasi yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.
3) Jaringan cultural : unsur ini secara informal dapat dikatakan sebagai jaringan komunikasi dalam organisasi yang dapat dijadikan sebagai alat untuk menyebarkan nilai-nilai budaya organisasi.
4) Kepahlawanan : unsur ini sering dimanfaatkan untuk mengajak seluruh karyawan untuk mengikuti nilai-nilai budaya organisasi yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yang ditunjuk sebagai tokoh.
5) Upacara/tatacara tertentu yang dilakukan secara rutin dalam rangka mensosialisaikan dan menginternalisasikan nilai-nilai karakteristik budaya organisasi.
Unsur-unsure budaya organisasi tersebut berinteraksi satu sama lain, saling mempengaruhi, saling menguatkan atau melemahkan tergantung dari tingkat keselarasan diantara unsur-unsur tersebut. Namun secara bersama-sama unsur-unsur tersebut membentuk corak budaya kerja suatu oragnisasi baik di tingkat satuan kerja maupun di tingkat organisasi secara keseluruhan.

Tika ( 2006 : 5), mengemukakan unsur-unsur budaya organisasi, sebagai berikut :
1) Asumsi dasar
2) Keyakinan yang dianut
3) Pemimpin atau kelompok pencipta dan pengembangan budaya organisasi
4) Pedoman mengatasi masalah
5) Berbagi nilai
6) Pewarisan
7) Penyesuaian

Fungsi Budaya Organisasi

Berkaiatan dengan fungsi budaya organisasi ini, peneliti akan mengemukakan beberapa pendapat para pakar, sebagai berikut :

1). Robbins (1996 : 642)
i. Menetapkan batasan/Menegaskan posisi organisasi secara berkesinambungan
ii. Mencetuskan atau menunjukkan identitas diri para anggotaorganisasi.Mewakili kepentingan orang banyak.
iii. Mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas daripada kepentingn individual sesorang.
iv. Meningkatkan stabilitas sosial.
v. Menyediakan mekanisme pengawasan yang dapat menuntun, membentuk tingkah laku anggota organisasi dan sekaligus menunjukkanhal-hal apa saja yang dilarang dan diperbolehkan untuk dilakukan dalam organisasi.

b. Luthans(1998) (dalam Lako 2004 : 31)
i. Memberi sence of identity kepada anggota organisasi untuk memahami visi, misi dan menjadi bagian integral dari organisasi.
ii. Menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi organisasi.
iii. Memberikan arah dan memperkuat standar perilaku untuk mengendalikan pelaku organisasi agar melaksanakantugas dan tanggung jawab mereka secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama. ( Noe dan Mondy, 1996)
iv. Membangun dalam mendesain kembali sistem pengendalian manajemen organisasi, yaitu sebagai alat untuk menciptakan komitmen agar para manajer dan karyawan mau melaksanakan perencanaan strategis programing, budgetting, controlling, monitoring, evaluasi dan lainnya (Merchant 1998, Anthony dan Goviandarajan 1996).
v. Membantgu manajemen dalam menyususn skema sistem kompensasi manajemen untuk eksekutif dan karyawan.
vi. Sebagai sumber daya kompetitif organisasi apabila dikelola secara baik.

Kajian lebih mendalam terhadap fungsi budaya organisasi, peneliti mengutip pendapat Schein (1992) ; Ouchy

  1. Metafora Budaya: Jaring Laba-laba dan Organisasi

Awal mula dari kata culture (kultur, budaya) sungguh menarik. Kata culture awalnya merujuk pada menyiapkan tanah untuk merawat tanaman dan hewan. Kata ini diinterpretasikan sebagai mendukung terjadinya pertumbuhan. Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo (1982) percaya bahwa budaya organisasi “mengindikasikan apa yang nienyusun dunia nyata yang ingin diselidiki” (hal. 122). Dengan kata lain, budaya organisasi (organizational culture) adalah esensi dari kehidupan organisasi. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, mereka menerapkan prinsip-prinsip antropologi untuk mengonstruksi teori mereka. Secara khusus, mereka mengadopsi pendekatan Interpretasi Simbolikyang dikemukakan oleh Clifford Geertz (1973) dalam model teoretis mereka. Geertz menyatakan bahwa orang-orang adalah hewan “yang tergantung di dalam jaringan kepentingan” (hal. 5). la menambahkan bahwa orang membuat jaring mereka sendiri. Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo (1982) memberikan komentar terhadap metafora Geertz: Jaring ini tidak hanya ada, melainkan sedang dipintal. Jaring ini dipintal ketika orang sedang menjalankan bisnis mereka membuat dunia mereka menjadi dapat dipahami—maksudnya, ketika mereka berkomunikasi. Ketika mereka berbicara, menulis sebuah naskah drama, menyanyi, menari, pura-pura sakit, mereka sedang berkomunikasi, dan mereka sedang mengonstruksi budaya mereka. Jaring ini merupakan residu dari proses komunikasi (hal. 147).

Tujuan utama dari para peneliti adalah untuk memikirkan mengenai semua konfigurasi (fitur) menyerupai jaring yang mungkin di dalam organisasi. Geertz menggunakan gambaran mengenai laba-laba bukan tanpa tujuan. la yakin bahwa budaya seperti sebuah jaring yang dipintal oleh laba-laba. Maksudnya, jaring ini terdiri atas desain yang rumit, dan tiap jaring berbeda dengan yang lainnya. Bagi Geertz, budaya juga seperti ini. Dengan mendasarkan kesimpulannya pada bermacam budaya di seluruh dunia, Geertz berargumen bahwa budaya-budaya semuanya berbeda dan keunikan ini harus dihargai. Untuk memahami budaya, Geertz percaya bahwa para peneliti harus mulai dengan berfokus pada makna yang dimiliki bersama di dalamnya. Kita akan mempelajari lebih jauh mengenai keyakinan Geertz ini nanti.

Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo (1983) menerapkan prinsip-prinsip dasar ini pada organisasi. Baik karyawan maupun manajer memintal jaring mereka sendiri. Orang-orang memegang peranan penting dalam organisasi, dan karenanya, sangat penting untuk mempelajari perilaku mereka sehubungan dengan keseluruhan organisasi. Pacanowsky dan O’Donnell  Trujillo menyatakan bahwa anggota-anggota dari organisasi terlibat di dalam banyak perilaku komunikasi yang memberikan kontribusi bagi budaya perusahaan. Mereka dapat melakukan ini melalui bergosip, bergurau, menjegal, atau terlibat secara romantis dengan orang lain.

Budaya organisasi di Jewelry Plus dapat diuraikan dalam beberapa cara. Anda mungkin dapat mengingat bahwa Fran tahu mengenai pemilikyang baru melalui gosip dan bahwa piknik perusahaan merupakan salah satu cara baginya untuk belajar lebih jauh mengenai budaya perusahaan yang baru. Tak diragukan bahwa ia akan mengalami budaya organisasi dalam pekerjaan barunya yang berbeda dari yang ia alami dengan Grace’s Jewelers. Perusahaan telah berubah, muncul banyak wajah baru, dan peraturan-peraturan juga mencerminkan kepemilikan yang baru. Fran juga memberikan kontribusi dalam pemintalan jaring .organisasi baik dengan memberikan respons pada cerita-cerita mengenai perusahaan dan meneruskannya kepada yang lain. Singkatnya, jaring dari sebuah budaya organisasi telah dipintal. Perspektif yang luas ini menggarisbawahi mengapa Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo berargumen bahwa budaya organisasi “bukanlah sebuah potongan puzzle; budaya adalah puzzle-nya” (hal. 146).

Aplikasi Teori Dalam Kelompok : Pada jantung dari Teori Budaya Organisasi adalah keyakinan bahwa organisasi memiliki berbagai simbol, ritual, dan nilai yang membuatnya unik. Dalam kelompok kecil, diskusikan apakah sebuah organisasi dapat memiliki simbol, ritual, dan nilai yang dapat merusak budaya dari organisasi tersebut. Berikan contoh yang spesifik untuk menjelaskan pemikiran Anda dan jelaskan konsekuensi yang mungkin timbul bagi budaya organisasi.

  1. Asumsi Teori Organisasi

Terdapat tiga asumsi yang mengarahkan Teori Budaya Organisasi. Saat Anda membaca ketiga asumsi ini, ingatlah adanya keberagaman dan kompleksitas dari kehidupan organisasi. Selain itu, pahamilah bahwa ketiga asumsi ini menekankan pada pandangan mengenai proses dari sebuah organisasi yang dikemukakan oleh Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo:

  • Anggota-anggota organisasi menciptakan dan mempertahankan perasaan yang dimiliki bersama mengenai realitas organisasi, yang berakibat pada pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai sebuah organisasi.
  • Penggunaan dan interpretasi simbol sangat penting dalam budaya organisasi.
  • Budaya bervariasi dalam organisasi-organisasi yang berbeda, dan interpretasi tindakan dalam budaya ini juga beragam.

Asumsi pertama berhubungan dengan pentingnya orang di dalam kehidupan organisasi. Secara khusus, individu saling berbagi dalam menciptakan dan mempertahankan realitas. Individu-individu ini mencakup karyawan, supervisor, dan atasan. Pada inti dari asumsi ini adalah nilai yang dimiliki oleh organisasi. Nilai (value) adalah standar dan prinsip-prinsip dalam sebuah budaya yang memiliki nilai intrinsik dari sebuah budaya. Nilai menunjukkan kepada anggota organisasi mengenai apa yang penting. Pacanowsky (1989) melihat bahwa nilai berasal dari “pengetahuan moral” (hal. 254) dan bahwa orang menunjukkan pengetahuan moral mereka melalui narasi atau kisah. Kisah-kisah yang didengar dan dibagikan oleh Fran, misalnya, akan berdampak dalam pemahamannya akan nilai-nilai perusahaan.

Orang berbagi dalam proses menemukan nilai-nilai perusahaan. Menjadi anggota dari sebuah organisasi membutuhkan partisipasi aktif dalam organisasi tersebut. Makna dari simbol-simbol tertentu—misalnya, mengapa sebuah perusahaan terus melaksanakan wawancara terhadap calon karyawan ketika terdapat sebuah rencana pemutusan hubungan kerja besar-besaran—dikomunikasikan baik oleh karyawan maupun oleh pihak manajemeri. Makna simbolik dari menerima karyawan baru ketika yang lainnya dipecat tidak akan dilewatkan oleh pekerja yang cerdik; mengapa memberikan uang pada karyawan baru ketika yang lama kehilangan pekerjaan mereka? Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo (1982) yakin bahwa karyawan memberikan kontribusi dalam pembentukan budaya organisasi. Perilaku mereka sangatlah penting dalam. menciptakan dan pada akhirnya mempertahankan realitas organisasi.

Realitas (dan budaya) organisasi juga sebagiannya ditentukan oleh simbol-simbol, dan ini merupakan asumsi kedua dari teori ini. Tadi kita telah mengetahui bahwa Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo mengadopsi perspektif Interpretasi Simbolik dari Geertz. Perspektif ini menggarisbawahi penggunaan simbol di dalam organisasi, dan sebagaimana telah disebutkan di dalam Bab 1, simbol merupakan representasi untuk makna. Anggota-anggota organisasi menciptakan, menggunakan dan menginterpretasikan simbol setiap hari. Simbol-simbol ini, karenanya, sangat penting bagi budaya perusahaan. Mary Jo Hatch (1997) memperluas pemikiran mengenai simbol dalam diskusinya mengenai kategori-kategori makna simbolik (Tabel 16.1).

Simbol-simbol mencakup komunikasi verbal dan nonverbal di dalam organisasi. Sering kali, simbol-simbol ini mengomunikasikan nilai-nilai organisasi. Simbol dapat berupa slogan yang memiliki makna. Contohnya, perusahaan-perusahaan memiliki slogan—di masa lalu maupun di masa kini—yang menyimbolkan nilai-nilai mereka, termasuk Motorola (“Intelligence Everywhere”), The New York Times (“AH News That’s Fit to Print”), dan Disneyland (“The Happiest Place on Earth”). Sejauh mana simbol-simbol ini efektif bergantung tidak hanya pada media tetapi pada bagaimana karyawan perusahaan mempraktikkannya. Misalnya, keyakinan Disneyland bahwa ia adalah tempat paling bahagia di seluruh dunia akan menjadi aneh jika karyawannya tidak tersenyum, atau apabila mereka kasar dan tidak sopan.

Untuk bukti akan adanya simbol verbal di sebuah organisasi, pertimbangkan cerita ini. Seorang supervisor bernama Derrick sering kali berkomunikasi mengenai nilai dalam perbincangan santai dengan karyawannya. Derrick sering kali menceritakan cerita-cerita panjang mengenai bagaimana ia menangani suatu hal tertentu di tempat kerja sebelumnya. la sering bercerita dengan sangat mendetail mengenai bagaimana, contohnya, ia berhasil memperjuangkan agar para karyawannya mendapatkan bonus di akhir tahun. Cerita-ceritanya selalu dimulai dengan kisah singkat mengenai bagaimana ia dibesarkan di Arkansas dan selalu berakhir dengan adanya moral cerita. Mulanya, karyawannya tidak yakin bagaimana harus menghadapi jenis komunikasi ini. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka segera menyadari bahwa Derrick sedang berusaha untuk menjalin kedekatan dengan para karyawannya dan untuk menunjukkan bahwa walaupun masalah mungkin seperti tidak ada habisnya, ia tahu bagaimana mengatasi hal tersebut. Melalui banyak ceritanya, ia sedang mengomunikasikan bahwa ia peduli terhadap isu-isu mengenai perusahaan dan mengenai karyawannya; ia juga mengomunikasikan sebuah pandangan baru mengenai bagaimana seharusnya sebuah budaya organisasi itu. Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai pentingnya simbol lisan, lihatlah Catalan Penelitian.

Tabel 1 Simbol Budaya Organisasi

Katagori Umum Tipe/Contoh Spesifik
Simbol Fisik seni/desain/logo

bangunan/dekorasi

pakaian/penampilan benda material

Simbol Perilaku upacara/ritual

tradisi/kebiasaan penghargaan/hukuman

Simbol Verbal anekdot/lelucon/jargon/nama/nam

sebutan penjelasan

kisah/mitos/sejarah metafora

Asumsi kita yang ketiga mengenai Teori Budaya Organisasi berkaitan dengan keberagaman budaya organisasi. Sederhananya, budaya organisasi sangatlah bervariasi. Persepsi mengenai tindakan dan aktivitas di dalam budaya-budaya ini juga seberagam budaya itu sendiri. Coba kita pikirkan apa yang dirasakan Fran ketika ia pindah dari Grace’s Jewelers ke Jewelry Plus. Beberapa contoh yang menggarisbawahi berbagai isu budaya dalam tiap perusahaan telah diberikan. Persepsi Fran dan partisipasinya dalam budaya yang satu mungkin akan berbeda dalam budaya yang lain. Beberapa orang mungkin malah akan senang dengan adanya perubahan budaya setelah bekerja selama sembilan tahun untuk perusahaan kecil yang sama.

Sebagai karyawan di sebuah toko perhiasan kecil, Fran tahu bahwa masalah toko dapat dengan cepat diselesaikan dan bahwa saran-saran untuk perubahan dapat diterima dan segera dilaksanakan. Budaya dalam toko tersebut adalah karyawan didorong untuk membuat keputusan cepat, sering kali tanpa persetujuan supervisor. Pengecualian mengenai kebijakan pengembalian barang di toko itu, misalnya, ditangani oleh semua karyawan. Pendiri toko tersebut merasa bahwa karyawan berada dalam posisi terbaik untuk menangani masalah sulit yang membutuhkan solusi dengan cepat. Selain itu, penghargaan bagi karyawan untuk pelayanan pelanggan juga rutin diberikan dan mediasi konflik dan program manajemen kemarahan disediakan baik bagi karyawan maupun bagi pihak manajemen. Praktik-praktik organisasi ini mengomunikasikan pentingnya rasa kebersamaan dalam realitas organisasi di antara para karyawan. Para karyawan di Grace’s Jewelers sering berkumpul bersama untuk F.A.C.—Friday Afternoon Club (Klub Jumat Siang)—di sebuah restoran lokal. Aktivitas-aktivitas ini mengomunikasikan semangat kebersamaan di dalam perusahaan ini. Para karyawan di Graces merupakan anggota dari budaya organisasi yang “menyusun dan menunjukkan budaya mereka pada diri mereka sendiri dan pada orang lain” (Pacanowsky & O’Donnell Trujillo, 1982, hal. 131).

Budaya organisasi di Jewelry Plus sangat berbeda dari budaya organisasi Graces, dan pengalaman-pengalaman Fran dengan Jewelry Plus sangat berbeda dengan pengalaman-pengalamannya dengan Grace’s Jewelers. Perusahaan raksasa ini tidak memiliki pengecualian dalam kebijakan pengembalian barangnya dan setiap saran untuk perbaikan toko harus dimasukkan ke dalam kotak saran untuk karyawan atay dikirim melalui e-mail ke kantor pusat. Rasa komunitas tidak didukung di Jewelry Plus karena tugas-tugas yang ada dengan jelas mendukung adanya otonomi. Memang terdapat beberapa usaha untuk memastikan bahwa karyawan berkumpul bersama pada saat tertentu—baik melalui waktu istirahat, makan siang, berkumpul bersama saat liburan—tetapi kesempatan ini terlalu terbatas untuk mendorong tpriadinva kekeluargaan di antara karvawan. TanDa rasa kekeluargaan, kisah-kisah, ritual, dan ritus juga dibatasi. Jelas sekali tampak perbedaan dari budaya organisasi di Grace’s dan Jewelry Plus.

Tiga asumsi dari Teori Budaya Organisasi telah dijelaskan. Tiap asumsi didasari oleh keyakinan bahwa ketika para peneliti mempelajari budaya organisasi, mereka akan menemukan jaring yang kompleks dan rumit. Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo yakin bahwa perspektif interpretasi simbolik memberikan gambaran realistis mengenai budaya sebuah perusahaan. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik bagaimana mereka mempelaj ari organisasi, kita sekarang akan membahas mengenai metodologi utama yang mereka gunakan dalam penelitian mereka dan juga dalam penelitian pendahulu mereka, Clifford Geertz: etnografi.

Pemahaman Etnografi: Mendasarkannya pada yang Mendalam

Seorang peneliti dalam kajian komunikasi dan performa, Dwight Conquergood (1992, 1994) mempelajari salah satu dari topik paling provokatif dalam komunikasi: komunikasi geng. Dalam usahanya untuk memahami komunikasi geng, Conquergood pindah ke sebuah bangunan kumuh di Chicago yang pada saat itu dikenal sebagai “Big Red”. la tinggal di dalam bangunan itu selama hampir dua tahun, mengamati dan berpartisipasi dalam semua bagian kehidupan yang dijalani oleh anggota geng. Melalui pengamatan, partisipasi, dan pencatatan, penelitian Conquergood menawarkan sebuah pandangan mengenai komunikasi geng yang selama ini dilewatkan oleh media. la menemukan banyak ritual dan simbol privat, dan kajiannya memungkinkan populasi geng untuk memiliki “suara” yang sebelumnya tidak pernah dituliskan dalam bidang ilmu komunikasi. Usahanya dalam menggali kisah-kisah yang berkaitan dengan geng kepada orang lain merupakan bagian dari etnografi, metodologi yang mendasari Teori Budaya Organisasi.

Anda akan mengingat bahwa Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo mendasarkan banyak bagian dari karya mereka pada karya Geertz. Karena karya Geertz merupakan karya etnografi, berikut secara singkat dibahas orientasi etnografis Geertz dan penjelasan mengenai hubungannya dengan teori ini.

Geertz (1973) berargumen bahwa untuk memahami budaya, seseorang harus melihatnya dari sudut pandang anssota budaya tersebut. Untuk melakukan hal ini, Geertz percaya bahwa para peneliti harus menjadi etnograf. Dalam Bab 4 kita telah mengidentifikasi etnografi sebagai metodologi kualitatif yang mengungkap dan menginterpretasikan artefak, kisah-kisah, ritual, dan praktik untuk menemukan makna dalam sebuah budaya. Para etnograf sering kali menyatakan kajian mereka merupakan penelitian naturalistik di mana mereka yakin bahwa cara yang mereka gunakan dalam mempelajari budaya lebih natural dibandingkan cara yang digunakan oleh para peneliti kuantitatif. Dengan mengingat hal ini, Geertz menyatakan bahwa etnografi bukan ilmu eksperimental melainkan sebuah metodologi yang menguak makna. Menemukan makna merupakan hal yang paling penting bagi seorang etnograf. Geertz, dan kemudian Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo melaksanakan pengamatan langsung, wawancara, dan observasi partisipan dalam menemukan makna dalam budaya.

Sebagai seorang etnograf, Geertz menghabiskan bertahun-tahun mempelajari berbagai budaya. Tulisannya telah membahas beragam subjek, mulai dari Buddhisme Zen hingga kehidupan di kepulauan Indonesia. Selama ia tinggal di tempat-tempat ini, ia bergantung sepenuhnya pada catatan lapangan dan menyimpan sebuah jurnal lapangan (field journal), mencatat semua perasaan dan idenya mengenai interaksinya dengan anggota-anggota dari budaya tertentu. Dalam tulisannya, Geertz (1973) menyimpulkan bahwa etnografi merupakan sejenis deskripsi tebal (thick description), atau penjelasan mengenai lapisan-lapisan rumit dari makna yang mendasari sebuah budaya. Para etnograf, karenanya, berusaha untuk memahami deskripsi tebal dari sebuah budaya dan untuk “menyelidiki makna yang tidak tampak dari sesuatu” (hal. 26). Hal yang menarik, Geertz percaya bahwa tidak ada analisis budaya yang lengkap karena semakin dalam seseorang berusaha masuk, semakin kompleks budaya tersebut. Oleh karenanya, sangat tidak mungkin untuk sepenuhnya pasti mengenai sebuah budaya dan norma atau nilainya.

Geertz (1983) menyatakan bahwa metodologi kualitatif ini tidak ekuivalen dengan berjalan sejauh satu mil di dalam sepatu orang yang sedang diteliti. Pemikiran ini hanya menyebabkan munculnya “mitos pekerja lapangan bunglon, yang sepenuhnya terpaku pada lingkungan sekitarnya yang eksotis, sebuah keajaiban berjalan yang memiliki empati, kepekaan, kesabaran, dan kosmopolitanisme” (hal. 56). Geertz menyatakan bahwa sebuah keseimbangan harus dipertahankan antara mengamati secara natural dan mencatat perilaku dan mengintegrasikan nilai-nilai peneliti dalam proses tersebut. la menyatakan bahwa “triknya adalah untuk memahami apa yang mereka pikir akan mereka lakukan” (hal. 58). Hal ini, sebagaimana dapat Anda bayangkan, dapat menjadi hal yang cukup sulit bagi para etnograf.

Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo tertarik dengan pengalaman etnografis Geertz dan pemikirannya mengenai pentingnya observasi, analisis, dan interpretasi. Pengalaman penelitian mereka sendiri mengenai kobudaya yang berbeda-beda terbukti tak ternilai. Misalnya, Pacanowsky (1983) mengamati polisi di lembah Salt Lake [Utah], dan Trujillo (1983) mempelajari penjualan mobil baru dan bekas. Keberagaman pengalaman mereka dalam budaya-budaya yang lebih kecil ini di Amerika Serikat mendorong mereka untuk menyatakan bahwa performa budaya, atau apa yang kita sebut sebagai penceritaan kisah, merupakan hal yang penting dalam mengomunikasikan budaya organisasi. Kita akan kembali pada topik mengenai performa setelah ini.

Teori Budaya Organisasi berakar pada etnografi, dan budaya organisasi hanya dapat dilihat dengan mengadopsi prinsip-prinsip etnografi. Kita akan mengeksplorasi etnografi dengan menggunakan contoh mengenai Fran Callahan. Jika para etnograf tertarik untuk mempelajari budaya dari tempat kerja barunya di Jewelry Plus, mereka mungkin akan mulai dengan mengamati beberapa area: Misalnya, peraturan perusahaan baru apa yang diterapkan? Apa yang dipikirkan oleh para karyawan baru seperti Fran mengenai hal tersebut? Strategi jenis apa yang digunakan untuk memudahkan transisi bagi karyawan seperti Fran? Apakah terdapat filosofi atau ideologi perusahaan? Apakah ada masalah dengan semangat kerja karyawan? Bagaimana hal ini diatasi? Apakah perusahaan memberikan respons terhadap keluhan karyawan? Jika ya, bagaimana? Jika tidak, mengapa? Pertanyaan-pertanyaan ini dan masih banyak lagi yang lainnya akan memulai proses etnografi untuk memahami budaya organisasi di Jewelry Plus.

Menariknya etnografi tidak dapat digambarkan dalam ruang yang terbatas ini. Akan tetapi, Anda diharapkan memiliki dasar mengenai proses dasar yang dikaitkan dengan etnografi dan memiliki pemahaman mengapa Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo menggunakan metodologi ini dalam kajian mereka mengenai budaya organisasi. Sekarang akan dibahas lebih lanjut topik mengenai performa, sebuah komponen penting dalam Teori Budaya Organisasi.

Performa Komunikasi

Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo (1982) menyatakan bahwa anggota organisasi melakukan performa komunikasi tertentu yang berakibat pada munculnya budaya organisasi yang unik. Performa (performance) adalah metafora yang menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi. Performa organisasi sering kali memiliki unsur teatrikal, di mana baik supervisor maupun karyawan memilih untuk mengambil peranan atau bagian tertentu dalam organisasi mereka.

Walaupun sistem kategori tidak selamanya eksklusif, Anda akan mendapatkan gambaran sejauh mana organisasi bervariasi dalam hal bagaimana perilaku manusia dapat dipahami. Para teoretikus menjabarkan lima performa budaya: ritual, hasrat, sosial, politik, dan enkulturasi. Tabel 16.2 mengidentifikasi kelima performa ini. Saat Anda membaca materi ini, ingatlah bahwa performa-performa ini dapat dilaksanakan oleh anggota mana pun dalam organisasi.

Performa Ritual

Semua performa komunikasi yang terjadi secara teratur dan berulang disebut performa ritual (ritualperformance). Ritual terdiri atas empat jenis: personal, tugas, sosial, dan organisasi. Ritual personal (personal ritual) mencakup sernua hal yang Anda lakukan secara rutin di tempat kerja. Misalnya, banyak anggota organisasi secara teratur mengecek pesan suara atau e-mail mereka ketika mereka bekerja tiap hari. Ritual tugas (task ritual) adalah perilaku rutin yang dikaitkan dengan pekerjaan seseorang. Ritual tugas membantu menyelesaikan pekerjaan. Misalnya, ritual tugas seorang karyawan di Departemen Kendaraan Bermotor termasuk mengeluarkan ujian mata dan tertulis, mengambil foto dari calon pengemudi, melaksanakan ujian mengemudi, memverifikasi asuransi mobil, dan menerima pembayaran. Ritual sosial (social ritual) adalah rutinitas verbal dan nonverbal yang biasanya mempertimbangkan interaksi dengan orang lain. Misalnya, beberapa anggota organisasi berkumpul bersama untuk menghabiskan waktu bersama di bar pada hari Jumat, merayakan akhir pekan. Mengenai ritual sosial Anda sendiri, ingatlah kembali rutinitas sosial di kelas Anda. Banyak dari Anda datang lebih awal untuk bertemu dengan teman sekelas dan bercerita mengenai apa yang telah terjadi selama Anda tidak bertemu dan kemudian Anda akan meneruskan ritual sosial ini baik selama waktu istirahat atau setelah kelas usai. Ritual sosial juga dapat mencakup perilaku nonverbal di dalam organisasi, termasuk Jumat kasual dan penghargaan karyawan terbaikbulan ini. Yang terakhir, yaitu ritual organisasi (organizational ritual) adalah kegiatan perusahaan yang sering dilakukan seperti rapat divisi, rapat fakultas, dan bahkan piknik perusahaan seperti yang diikuti oleh Fran Callahan.

tabel 2 Performa Budaya dalam Organisasi

 

Performa Ritual

ritual personal—;mengecek pesan suara dan e-mail; ritual tugas-mengeluarkan tiket, menerima pembayaran; ritual social-acara kumpul karyawan; ritual organisasi—rapat departemen, piknik perusahaan___

 

 

Performa Hasrat

 

penceritaan kisah, metafora, dan pembicaraan yang berlebihan—”ini adalah perusahaan yang paling tidak menghargai karyawan,” “ikuti mata rantai perintah yang diberikan, jika tidak perintah itu akan membelit lehermu”

 

Performa Sosiat

 

tindakan santun dan sopan; perpanjangan etiket—mengucapkan tarima kasih pada pelanggan, obrolan di dekat pendingin air, menjaga “muka” orang lain

 

Performa Politis

 

menjalankan kontrol, kekuasaan, dan pengaruh—bos yang galak, ritual intimidasi, penggunaan informan, tawar-menawar

Performa Enkulturasi   Kompetensi yang didapat dari karir dalam organisasi-peranan belajar/mengajar, orientasi, wawancara

Performa Hasrat

Kisah-kisah mengenai organisasi yang sering kali diceritakan secara antusias oleh para anggota organisasi dengan orang lain disebut performa hasrat (passion performance). Sering kali, orang dalam organisasi menjadi begitu menggebu-gebu dalam bercerita. Lihat pengalaman Adam, yang bekerja di sebuah toko ritel nasional. Adam dan rekan sekerjanya mendengar dan menceritakan kembali kisah-kisah mengenai supervisor departemen mereka. Ceritanya adalah bahwa atasan mereka selalu berjalan di seputar departemen mereka setiap tiga puluh menit sekali untuk mendapatkan gambaran yang maenyeluruh mengenai para pekerja dan pelanggan. Jika supervisor ini melihat sesuatu yang menurutnya tidak biasa, ia akan memanggil si karyawan ke ruang belakang, melihat kembali rekaman video dari kejadian tersebut, dan menanyakan pada si karyawan apa yang akan ia lakukan untuk memperbaiki masalah yang mungkin muncul di masa depan. Adam dan semua temannya menceritakan kembali kisah ini baik kepada karyawan baru maupun lama. Bahkan, setelah enam tahun, hasrat Adam untuk berbagi kisah ini masih sama dengan ketika ia menceritakannya untuk pertama kali.

Performa Sosial

Jika performa hasrat seperti yang dilakukan Adam memiliki sedikit kepedulian mengenai orang yang menjadi inti cerita, performa sosial (socialperformance) merupakan perpanjangan sikap santun dan kesopanan untuk mendorong kerja sama di antara anggota organisasi. Pepatah yang mengakatan “hal kecil memulai hal yang besar” berhubungan langsung dengan performa ini. Baik dengan senyuman atau sapaan “selamat pagi,” menciptakan suatu rasa kekeluargaan sering kali merupakan bagian dari budaya organisasi.

Akan tetapi, sering kali sangat sulit untuk bersikap sopan. Ketika suasana sedang tegang, sungguh merupakan hal yang sulit dan terkadang menjadi tidak tulus untuk tersenyum dan mengucapkan “selamat pagi” pada orang lain. Kebanyakan organisasi menginginkan untuk mempertahankan perilaku yang profesional, bahkan di masa yang sulit, dan performa sosial membantu tercapainya hal ini.

Performa Politis

Ketika budaya organisasi mengomunikasikan performa politis (politicalperformance), budaya ini sedang menjalankan kekuasaan atau kontrol. Mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dan kontrol merupakan ciri dari kehidupan korporat di Amerika Serikat. Walaupun demikian, karena kebanyak organisasi bersifat hierarkis: Harus ada seseorang dengan kekuasaan untuk mencapai segala sesuatu dan memiliki cukup kontrol untuk mempertahankan dasar-dasar yang ada.

Ketika anggota organisasi terlibat dalam performa politis, mereka mengomunikasikan keinginan untuk memengaruhi orang lain. Hal ini bukanlah selalu merupakan hal yang buruk. Mari kita lihat pengalaman sekelompok perawat, misalnya, di Rumah Sakit Spring Valley. Selama bertahun-tahun, para perawat cukup puas dengan status kelas dua mereka bila dibandingkan dengan para dokter. Baru-baru ini, para perawat memutuskan untuk menyuarakan perlakuan ini. Mereka berbicara kepada para dokter, kepada staf medis lainnya, dan kepada pasien. Dalam hal ini, mereka sedang menjalankan lebih banyak kekuasaan terhadap pekerjaan mereka. Performa politis budaya mereka berpusat pada pengakuan akan kompetensi mereka sebagai tenaga medis profesional dan untuk komitmen mereka terhadap misi dari rumah sakit tersebut. Tujuan mereka adalah untuk dilegitimasi di rumah sakit oleh para dokter, rekan sekerja, dan para pasien. Performa mereka, tak diragukan lagi, sangat penting dalam membangun budaya organisasi yang berbeda.

Performa Enkulturasi

Tipe performa yang kelima yang diidentifikasi oleh Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo disebut sebagai performa enkulturasi. Performa enkulturasi (enculturation performance) merujukpada bagaimana anggota mendapatkan pengetahuan dan keahlian untuk dapat menjadi anggota organisasi yang mampu berkontribusi. Peforma-performa ini dapat berupa sesuatu yang berani maupun hati-hati, dan performa ini mendemonstrasikan kompetensi seorang anggota dalam sebuah organisasi. Misalnya, beberapa performa akan dilakukan untuk mengenkulturasi Fran ke dalam posisinya yang baru. la akan mengamati dan mendengarkan kolega-koleganya menampilkan pemikiran dan perasaan mereka terhadap beb” erapa isu: di antaranya jam kerja, diskon karyawan, dan newsletter perusahaan,. Singkatnya, Fran akan mulai untuk mengetahui budaya organisasi tersebut.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, performa-performa ini dapat saling tumpang tindih. Sangat mungkin, karenanya, untuk menganggap performa sosial sebagai performa ritual.

Coba pikirkan, misalnya, memberikan salam “Selamat pagi” kepada seorang rekan sekerja atau membuatkan kopi untuk seorang yang lain di hari berikutnya. Dalam contoh ini, tindakan kesopanan dianggap personal (dan bahkan tugas) ritual. Oleh karenanya, performa tersebut dapat menjadi sosial maupun ritual.

Selain itu, performa dapat muncul dari keputusan yang dibuat secara sadar untuk melakukan apa yang dipikirkan atau dirasakan mengenai suatu isu, seperti dalam contoh kita mengenai para perawat di Rumah Sakit Spring Valley. Atau performa ini dapat menjadi lebih intuitif, seperti di dalam contoh kita mengenai Fran Callahan. Jelaslah bahwa Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo yakin bahwa performa komunikatif sangat penting bagi budaya suatu organisasi.

Teori Budaya Organisasi, dicetuskan oleh Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo, merupakan teori yang memiliki pengaruh penting dalam teori dan penelitian di bidang komunikasi organisasi. Untuk mengevaluasi efektivitas teori ini, akan didiskusikan tiga kriteria: heurisme, kegunaan, dan konsistensi logis.

Daya tarik Teori Budaya Organisasi telah begitu luas dan jauh, sehingga menyebabkan teori ini bersifat heuristik. Misalnya saja, teori ini telah membingkai penelitian yang mengkaji karyawan Muslim (Alkhazraji, 1997), petugas penegak hukum (Frewin & Tuffin, 1998), dan karyawan yang sedang mengandung (Halpert & Burt, 1997). Teori ini telah memengaruhi banyak ilmuwan untuk mempertimbangkan mengenai budaya organisasi dan bagaimana mereka mengajarkan mengenai hal ini di dalam kelas (Morgan, 2004). Dan relevan bagi kita yang berada di dalam bidang pendidikan, teori ini telah digunakan untuk mempelajari cerita-cerita mengenai mahasiswa dan persepsi mereka akan penyesuaian diri di kampus (Kramer & Berman, 2001).

Teori ini berguna karena informasinya dapat diterapkan pada hampir semua karyawan di dalam sebuah organisasi. Pendekatan ini berguna karena banyak informasi dari teori (misalnya, simbol, kisah, ritual) memiliki hubungan langsung pada bagaimana karyawan bekerja dan identifikasi mereka terhadap lingkungan kerja mereka (Schrodt, 2002). Karena karya para teoretikus ini didasarkan pada organisasi yang nyata dan karyawan yang benar-benar ada, para peneliti ini telah membuat teori ini menjadi lebih berguna dan praktis.

Konsistensi. logis dari model ini juga tidak boleh dilewatkan. Coba ingat kembali bahwa konsistensi logis merujuk pada pemikiran bahwa teori harus mengikuti pengaturan logis dan tetap konsisten. Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo berusaha untuk memegang teguh keyakinan mereka bahwa budaya organisasi sangat kaya dan beragam; mereka merasa bahwa mendengarkan performa komunikatif dari anggota organisasi adalah titik awal bagi kita untukmemahami “budaya korporat”. Ini merupakan dasar dari mana banyak bagian dari teori ini mendapatkan momentumnya.

Walaupun demikian, beberapa yakin bahwa teori ini kurang dalam hal konsistensi. Eric Eisenberg dan H.L. Goodall (2004) misalnya, mengamati bahwa Teori Budaya Organisasi bergantung sepenuhnya pada makna yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota organisasi. Mereka menyatakan bahwa kisah, contohnya, tidak dimiliki secara mirip di antara karyawan: “cerita yang berbeda mengenai organisasi diceritakan oleh narator yang berbeda pula” (hal. 134). Maksudnya, walaupun teori ini menyatakan bahwa kisah diceritakan dan diceritakan ulang dan memberikan kontribusi pada budaya sebuah organisasi, kisah-kisah ini mungkin tidak akan memiliki makna yang sama bagi semua orang.

Pacanowsky dan O’Donnell Trujillo merupakan dua dari beberapa peneliti komunikasi yang mempelajari mengenai kehidupan organisasi dengan melihat baik pada karyawan dan perilaku mereka. Mungkin melihat budaya organisasi dengan cara ini akan membuat para peneliti mampu menghargai pentingnya berhubungan dengan orang dan performa mereka di tempat kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Adizes, Ichak. 1988. Corporate Lifecycles: How and Why Corporations Grow and Die and What to do About It. New Jersey: Prentice Hall.

Armanu Thoyib. 2004. Strategi Manajemen Konflik Dalam Organisasi Multibudaya, Jurnal Manajemen & Bisnis (JMB), Vol.1, No.1.

Armanu Thoyib. (Eds) 2003. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Tentang Formulasi,Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Pembangunan Daerah di Kalimantan Timur, ISBN: 979 – 3506 – 04 – 0. Malang: PPsUB.

————-, Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Tentang Kepemimpinan Dan Motivasi Di Era Otonomi Daerah Propensi Kalimantan Timur, ISBN: 979 -3506-05-9. Malang: PPsUB.

————-, Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Tentang Pengembangan Sumberdaya Manusia Dan Pemberdayaan Aparatur Negara Di Wilayah Propensi Kalimantan Timur, ISBN: 979 –3506-6-7. Malang: PPsUB.

Baron, R. A., and J. Greenberg. 1990. Behavior in Organization: Understanding and Managing the Human Side of Work, Third Edition. Toronto: Allyn and Bacon.

Brown, A. 1998. Organizational Culture. Singapore: Prentice Hall..

Bakker, J.W.M, 1984, 2006, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Kanisius

Pace, R. Wayne, Don F. Faules, Komunikasi Organisasi, terj. Bandung: PT Rosda karya

http://ismailrasulong.wordpress.com/2009/02/12/kepemimpinan-budaya-organisasi/

http://cokroaminoto.blogetery.com/2008/06/10/budaya-organisasi-dalam-peningkatan-kinerja/

file:///media/hd2/Working-Directory/Documents/teori

 

PR Dalam Pelaksanaan Fungsi dan Peran dalam Pemerintahan

Beberapa tahun ini Indonesia menghadapi banyak persoalan terlebih yang menyangkut dengan pemerintahan,banayak dari masyarakat dewasa ini lebih kritis terhadap masyarakat. Pemerintah menghadapi tantangan besar dalam meyakinkan masyarakat untuk mendukung kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dibutuhkan fungsi manajemen yang handal juga keahlian khusus untuk mendukung tujuan tersebut. Salah satunya dengan memaksimalkan fungsi dan peran Humas pemerintah, karena melalui Humas, pemerintah dapat menyampaikan kebijakan sekaligus menyerap reaksi yang ditimbulkan masyarakat sehubungan dengan kebijakan yang telah ditetapkan tersebut. Menurut Rachmadi (1994:22) bahwa: Fungsi Humas pemerintah adalah mengatur lalu-lintas, sirkulasi informasi internal dan eksternal, dengan memberikan informasi serta penjelasan seluas mungkin kepada Publik (masyarakat) mengenai kebijakan, program, serta tindakan-tindakan dari lembaga atau organisasinya, agar dapat dipahami sebagai public acceptance dan public support.

Prinsip memperoleh public acceptance dan public support tersebut tentu saja menjadi salah satu factor penting dalam mengukur keberhasilan Humas Pemerintah dalam menjalankan fungsi dan perannya. Masyarakat Indonesia secara paradigmatic dan psikologis mengalami berbagai perubahan “drastic”. Jika pada masa sebelumnya masyarakat seolah mengalami ketakutan, dan sebagai resikonya memberikan kepatuhannya kepada semua kebijakan pemerintah, maka belakangan ini masyarakat Indonesia seolah mendapatkan kekuatannya untuk terlihat secara aktif terhadap semua proses kebijakan pemerintah. Dengan terjadinya pergeseran konteks tersebut, maka tidak dapat dipungkiri peran Humas pemerintah menghadapi satu situasi yang lebih kompleks dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Pelaksaan dari fungsi peran itu sndiri seharusnya menjadi suatu hal yang optimal yang membantu pemerintah dalam mencapai goalnya.

  Pada dasarnya humas atau public relations sangat dibutuhkan dalam sebuah perusahaan untuk membangun image yang positif. Namun tidak hanya dalam sebuah perusahaan, pada sebuah lembaga pemerintahan juga memerlukan fungsi manajemen humas. Sebagai Negara demokrasi Humas berfungsi melayani rakyat, karena rakyat turut mengawasi setiap kegiatan pemerintah, apabila tidak sesuai dengan aspirasi rakyat, rakyat secara cepat akan mengeritiknya. Disinilah Humas berfungsi untuk mengelola informasi dan opini public. Informasi mengenai kebijaksanaan pemerintah disebarluaskan, opini ublik dikaji dan diteliti seefektif mungkin untuk keperluan pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan selanjutnya.

Jadi, pada intinya tugas Humas pemerintah adalah:

  1. Memberikan penerangan dan pendidikan kepada masyarakat tentang kebijakan, langkah-langkah, dan tindakan-tindakan pemerintah, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa informasi yang diperlukan secara terbuka, jujur dan obyektif.
  2. Memberikan bantuan kepada media masa berupa bahan-bahan informasi mengenai kebijakan dan langkah-langkah serta tindakan pemerintah, termasuk fasilitas peliputi kepada media massa untuk acara-cara resmi yang penting. Pemerintah merupakan sumber informasi yang penting bagi media, karena itu sikap keterbukaan informasi sangat diperlukan.
  3. Mempromosikan perkembangan ekonomi, dan kebudayaan yang telah dicapai oleh bangsa kepada khalayak di dalam maupun di luar negeri.
  4. Memonitor pendapat umum tentang kebijakan pemerintah, selanjutnya menyampaikan tanggapan masyarakat dalam bentuk feedback kepada pimpinan instansi Pemerintahan yang bersnagkutan sebagai input.

Proses demokratisasi telah mengubah paradigma pemerintahan saat ini, yakni dari government menjadi governance, dimana transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik menjadi tuntutan sekaligus ukuran keberhasilan sebuah pemerintahan yang demokratis. Kondisi demikian bermuara pada dua hal. Pertama, semakin menguatnya tuntutan masyarakat akan transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik dalam implementasi fungsi-fungsi pemerintahan. Kedua, bagaimana pelayanan dan kebijakan publik yang dilakukan memenuhi tuntutan aspek transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik tadi. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut pemerintah membutuhkan sumberdaya, dukungan lingkungan dan kelembagaan yang kuat.

 Bagaimana seorang humas pemerintahan melaksanakan fungsi dan peran dalam pemerintahan?

Melalui Humasnya pemerintah dapat menyampaikan informasi atau menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan kebijaksanaan dan tindakan-tindakan tertentu serta aktivitas dalam melaksanakan tugas-tugas dan kewajiban kepemerintahannya. Terdapat beberapa hal untuk melaksanakan tugas utamanya:

  1. Mengamati dan mempelajari tentang hasrat, keinginan-keinginan dan aspirasi yang terdapat dalam masyarakat (learning about public desires and aspiration)
  2. Kegiatan memberikan nasehat atau sumbang saran untuk menanggapi atau sebaliknya dilakukan oleh instansi/lembaga pemerintah seperti dikehendaki publiknya (advising the public about what is should desires)
  3. Kemampuan untuk mengusahakan terjadinya hubungan memuaskan yang diperoleh antara hubungan public dan aparat Pemerintahan (ensuring satifactory contac between and government official)
  4. Memberikan penerangan dan informasi tentang apa yang telah diupayakan oleh suatu lembaga/instansi Pemerintahan yang bersangkutan (informing and about what an agency is doing)

 

Sumber :

http://rofiana.wordpress.com/2011/06/09/makalah-peran-humas-dalam-lembaga-pendidikan/

http://haris-tambera.blogspot.com/2011/01/pelaksanaan-fungsi-humas-pemerintah.html

http://andyretno.wordpress.com/2009/01/06/memaksimalkan-fungsi-humas-dalam-dunia-pendidikan/

http://humas.sragenkab.go.id/?p=1262

House Journal and Public Relation Literature

 

man-reading-newspaper

 

House Journal

House journal adalah salah satu bentuk tertua dr hubungan masyarakat, Amerika lah yang menjadi pelopor media ini. House journal dapat juga dipanggil dengan berbagai macam nama, seperti newsletters, employee newspapers dan company newspapers tapi pada dasarnya, mereka memiliki fungsi yang sama. House Journal adalah publikasi pribadi oleh karena itu dibahas secara terpisah dari pers komersial.

 

Jenis-jenis House Journal

Terdapat dua jenis berbeda dari House Journal: internal untuk staf dan eksternal untuk publik luar.

Ada lima tipe dasar dari house journal. Sebelumnya telah dikonversi seluruhnya atau sebagian media elektronik, tidak begitu banyak media, tetapi pesan penting, dan media yang paling tepat untuk mencapai target fungsi publik.

  1. The Sales Bulletin adalah komunikasi rutin, mungkin mingguan, antara seorang manajer penjualan dan perwakilan penjualan di lapangan.
  2. The Newsletter adalah intisari dari berita untuk pembaca yang sibuk. Istilah newsletter kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan house journal cetak secara umum.
  3. 3. The Magazine, yang biasanya berisi fitur artikel dan gambar. Biasa diterbitkan pada interval bulanan.
  4. The Tabloid Newspaper.
  5. The Wall Newspaper. Berguna untuk membentuk komunikasi antar satff, di mana staff yang berada dalam satu lokasi seperti pabrik, department store atau rumah sakit.

Eksternal cenderung menggunakan format majalah, karena mereka lebih mendidik dan informatif, tidak semuanya tentang berita, kisah-kisah pribadi dan gosip tetapi beberapa diantaranya mengikuti format tabloid.

Mengapa menerbitkan House Journal?

Publikasi tersebut dapat menjadi salah satu media yang digunakan oleh manajer PR untuk melaksanakan program PR yang direncanakan,ini termasuk aspek yang sangat penting, termasuk hubungan internal. Semua jenis inovasi (termasuk media baru) telah diperkenalkan ke dalam komunikasi internal, house journal cetak telah bertahan sebagai media yang paling efektif.

Sebuah house journal yang bagus harus diterbitkan karena manajemen memiliki hal-hal untuk disampaikan kepada karyawan dan juga untuk menghasilkan umpan balik. Hal ini sangat penting di mana staf tersebar antara lokasi yang berbeda, dan staf lama dan baru harus saling mengenal. Staf juga mungkin ingin berkomunikasi dengan satu sama lain. House journal menjadi alat penting dalam proses hubungan manajemen karyawan. Sebuat House journal haruslah diedit sebelum diterbitkan. Di beberapa organisasi ada dewan redaksi atau komite. CEO harus menyetujui semua materi sebelum dicetak. Di minoritas lain, mungkin, editor benar-benar independen.

Teknik House Journal

Ada pertimbangan khusus mengenai penerbitan, editing, produksi dan distribusi dari house journal,

Pembaca

Sponsor dan editor harus tahu betul siapa pembaca dari publikasi ini. Sebagai contoh, buruh pabrik suka akan berita yang menyangkut dirinya dan juga perusahaanya. Sulit untuk jurnal untuk menjadi segalanya bagi semua orang, maka perlu untuk memisahkan publikasi untuk melayani kepentingan berbagai orang yang berbeda.

Frekuensi

Biaya atau frekuensi beban kerja tim editorial, mungkin dapat menjadi salah satu alsan mengapa  jurnal diterbitkan tidak terlalu sering. Pembaca harus melihat ke depan untuk edisi berikutnya, dan lebih baik terbit pada awal bulan. Frekuensi juga dapat ditentukan oleh kebutuhan untuk mempublikasikan berita sesegera mungkin. Faktor lain adalah jumlah salinan yang dibutuhkan untuk menjangkau semua pembaca. Kekhawatiran yang berlebihan telah mendorong banyak house journal diterbitkan ke internet, terutama di mana mereka mengalami kesulitan mempertahankan pembaca.

 

Judul

Judul house journal menetapkan gambaran publikasi, judul juga haruslah permanen dan judul sangatlah penting dan menentukan, baiknya dipilih nama yang tepat dan bagus. Contohnya untuk newspaper di beri judul ‘times’.

 

Distribusi

Jika organisasi memiliki banyak cabang atau lokasi, dan sebagian besar persediaan dikirim ke setiap alamat, harus ada distribusi sistematis untuk masing-masing pembaca, cara terbaik adalah untuk mengirimnya ke alamat rumah karyawan. Karyawan dapat kemudian membaca jurnal di waktu luang mereka, dan itu juga mungkin menarik perhatian keluarga mereka. Dimasukkannya iklan dapat membantu untuk membuat jurnal terlihat lebih realistis dan lebih bernilai bagi pembaca. Tiga jenis iklan:

  1. Iklan yang dimasukkan oleh organisasi tentang produk atau layanan itu sendiri.
  2. Di luar iklan komersial yang mendukung Journal membuat media iklan yang baik
  3. readers’ sales dan menginginkan iklan

 

Kontributor

Harus ada kontributor untuk persediaan materi editorial yang direncanakan. dengan. divisi Koresponden dapat ditunjuk dengan tanggung jawab untuk mengumpulkan berita dan mengirim laporan rutin. Editor juga perlu untuk mengatur pengambilan gambar peristiwa yang layak diberitakan.

 

Produksi

House journal terdiri dari kombinasi menulis, desain cetak dan print buying skills. Beberapa editor yang terutama wartawan, yang memiliki sedikit atau tidak ada pengetahuan desain sama sekali, dan bergantung pada printer untuk mengkonversi salinan ke jurnal. Hasilnya dapat mengecewakan. Kredibilitas sangat penting: house journal harus terlihat seperti sebuah jurnal komersial yang normal, tidak terlalu bergengsi atau menyerupai literatur penjualan.

 

Eksternal

Most the above remarks also aplly to externals, except that the policy, readership and contents must concern readers outside the organization. External should not normally be aimed at targeted readership. It should fit into the public relations programme as a private medium directed at a defined public for a precise purpose. These chosen publics could be:

  1. The Trade. Distributor dapat dididik tentang perusahaan dan produk-produknya, dengan saran tentang isu-isu bisnis dan bagaimana menampilkan, menunjukkan atau menjual produk.
  2. Users. Penentu, formulators, desainer dll. dapat ditunjukkan bagaimana menggunakan produk seperti bahan, komponen atau bahan-bahan.
  3. Professionals. Produk dan jasa yang menarik untuk profesional dapat dijelaskan dan menjelaskan, mulai dari produk yang mereka dapat merekomendasikan atau gunakan service yang mungkin mereka beli.
  4. Patrons. contohnya majalah dalam pesawat, sebagai jurnal yang disediakan untuk tamu hotel.
  5. Costumer Magazines. Ini adalah sebuah jurnal yang diterbitkan kepada pelanggan dan klien, sponsor hotel, perusahaan asuransi, dan pengecer.
  6. Opinion Leader. Beberapa jurnal lebih luas didistribusikan kepada mereka yang mengekspresikan pendapat tentang organisasi dan perlu untuk terus diberi informasi.

The circulation list dapat mencakup editor perdagangan yang relevan, teknis dan jurnal profesional, dengan undangan untuk mereproduksi fitur gratis dalam publikasi mereka sendiri.

T I P O G R A F I

 

doodlealphabetlarge_2doodlealphabetlarge

 

 

 

 

 

 

 


Tipografi
merupakan suatu ilmu dalam memilih dan menata huruf dengan pengaturan penyebarannya pada ruang-ruang yang tersedia, untuk menciptakan kesan tertentu, sehingga dapat menolong pembaca untuk mendapatkan kenyamanan membaca semaksimal mungkin.

Tipografi atau bahasa Inggris Typography (berasal dari kata bahasa Greek typos = bentuk dan graphein = menulis) merupakan teknik dan seni mengatur huruf menggunakan gabungan bentuk huruf cetak, size font, ketebalan garis, garis pandu (line leading), jarak aksara, dan ruang huruf untuk menghasilkan hasil seni aturan huruf dalam bentuk fizikal atau digital. Matlamat utama tipografi adalah mengatur teks (isi) dalam bentuk yang mudah dibaca dan menarik dipandang.

Tipografi dihasilkan melalui pengatur huruf, jurutipografi, artis grafik, pengarah seni dan pekerja perkeranian. Ia pernah merupakan pekerjaan khusus, tetapi penggunaan komputer telah membuka ruang bagi pengguna biasa dan pereka visual generasi baru.

Tipografi merupakan representasi visual dari sebuah bentuk komunikasi verbal dan merupakan properti visual yang pokok dan efektif. Hadirnya tipografi dalam sebuah media terpan visual merupakan faktor yang membedakan antara desain grafis dan media ekspresi visual lain seperti lukisan. Lewat kandungan nilai fungsional dan nilai estetiknya, huruf memiliki potensi untuk menterjemahkan atmosfir-atmosfir yang tersirat dalam sebuah komunikasi verbal yang dituangkan melalui abstraksi bentuk-bentuk visual.

Tipografi menurut buku Manuale Typographicum adalah :
Typography can defined a art of selected right type printing in accordance with specific purpose ; of so arranging the letter, distributing the space and controlling the type as to aid maximum the reader’s.(tipografi merupakan seni memilih dan menata huruf dengan pengaturan penyebarannya pada ruang-ruang yang tersedia, untuk menciptakan kesan khusus, sehingga akan menolong pembaca untuk mendapatkan kenyamanan membaca semaksimal mungkin.)

Sejarah Tipografi

Continue reading

Sejarah Pembentukan Pancasila

garuda_pancasila

Pada tahun 1945, menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dr. Radjiman, ketua Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengajukan pertanyaan yang fundamental, dasar negara yang kita hendaki haruslah dasar negara yang mampu mempersatukan unsur-unsur bangsa dan negara yang begitu heterogen.

Bung Karno menjawab pertanyaan dr. Radjiman pada tanggal 1 Juni 1945. Jawaban itu disampaikan dalam suatu pidato tanpa teks. Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 mengandung sintesis nilai-nilai atau unsur-unsur budaya yang lengkap dan memiliki sifat-sifat universal, mulai dari kebangsaan, kemanusiaan, kerakyatan, kesejahteraan, dan ketuhanan. Semua itu menunjukkan betapa luas dan mendalamnya pengetahuan dan wawasan Bung Karno. Meski demikian Bung Karno sadar akan perlunya penyempurnaan.

Sampai sekarang masih diperdebatkansiapa sebenarnya pencetus gagasan dasar negara Pancasila pertama kali, Soekarno atau M.Yamin. Mereka yang pro-Yamin mendasarkan pendapatnya atas dasar dokumen Yamin yang berjudul Asas dan Dasar Negara Kebangsaan RI bertanggal 29 Mei 1945. Teks Yamin itu termuat dalam buku himpunannya yang berjudul naskah Persiapan UUD 1945 jilid I (1959).Buku itu mendapat kata pengantar tulis tangan dari Presiden Soekarno, bertanggal 22 April 1959. Berdasarkan 2 dokumen itu muncullah pendapat yang menyatakan bahwa Yaminlah pecetus gagasan dasar negara pertama, meskipun tidak memberi nama Pancasila. Pendapat itu menganggap pengantar tulis tangan dari Presiden Sukarno sebagai endorsement (pengukuhan) atas pendapat pro-Yamin itu.

1. Rumusan I: Mr. Muh. Yamin

Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni 1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muh. Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.

a. Rumusan Pidato

Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu

  1. Peri Kebangsaan
  2. Peri Kemanusiaan
  3. Peri ke-Tuhanan
  4. Peri Kerakyatan
  5. Kesejahteraan Rakyat

b. Rumusan Tertulis

Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kebangsaan Persatuan Indonesia
  3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

2. Rumusan II: Ir. Soekarno

Selain Muh Yamin, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara, diantaranya adalah Ir Sukarno. Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila. Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula-lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa (Muhammad Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila

a. Rumusan Pancasila

  1. Kebangsaan Indonesia
  2. Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
  3. Mufakat,-atau demokrasi
  4. Kesejahteraan sosial
  5. ke-Tuhanan yang berkebudayaan

b. Rumusan Trisila

  1. Socio-nationalisme
  2. Socio-demokratie
  3. ke-Tuhanan

c. Rumusan Ekasila

  1. Gotong-Royong

 

3. Rumusan III: Piagam Jakarta

Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni 1945. Selama reses antara 2 Juni – 9 Juli 1945, delapan orang anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk. Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan “Panitia Sembilan”) Panitia Sembilan adalah panitia yang beranggotakan 9 orang yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama serta merumuskan dasar negara Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945. Adapun anggota Panitia Sembilan adalah sebagai berikut:

  1. Ir. Soekarno (ketua)
  2. Drs. Moh. Hatta (wakil ketua)
  3. Mr. Achmad Soebardjo (anggota)
  4. Mr. Muhammad Yamin (anggota)
  5. KH. Wachid Hasyim (anggota)
  6. Abdul Kahar Muzakir (anggota)
  7. Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota)
  8. H. Agus Salim (anggota)
  9. Mr. A.A. Maramis (anggota)

Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler dimana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”. Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/declaration of independence). Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para “Pendiri Bangsa”.

a. Rumusan kalimat

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

b. Alternatif pembacaan

Alternatif pembacaan rumusan kalimat rancangan dasar negara pada Piagam Jakarta dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua golongan dalam BPUPKI sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan anak kalimat terakhir dalam paragraf keempat tersebut menjadi sub-sub anak kalimat.

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan,

dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar

kemanusiaan yang adil dan beradab,

persatuan Indonesia, dan

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

serta

dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

c. Rumusan dengan penomoran (utuh)

  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
  2. Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

d. Rumusan populer

Versi populer rumusan rancangan Pancasila menurut Piagam Jakarta yang beredar di masyarakat adalah:

  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan butir pertama dilakukan oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.

 

4. Rumusan IV: BPUPKI

Pada sesi kedua persidangan BPUPKI yang berlangsung pada 10-17 Juli 1945, dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (baca Piagam Jakarta) dibahas kembali secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli 1945. Dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” tersebut dipecah dan diperluas menjadi dua buah dokumen berbeda yaitu Declaration of Independence (berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi 12 paragraf) dan Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa perluasan sedikitpun). Rumusan yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan menghilangkan kata “serta” dalam sub anak kalimat terakhir. Rumusan rancangan dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi pertama, jarang dikenal oleh masyarakat luas

a. Rumusan kalimat

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

b. Rumusan dengan penomoran (utuh)

  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
  2. Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

5. Rumusan V: PPKI

Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia (lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI Jepang) menimbulkan situasi darurat yang harus segera diselesaikan. Sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), diantaranya A. A. Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar negara. Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sebuah “emergency exit” yang hanya bersifat sementara dan demi keutuhan Indonesia.

Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo. Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan dipakai oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang nantinya dikenal dengan UUD 1945.

a. Rumusan kalimat

“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

b. Rumusan dengan penomoran (utuh)

  1. ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
  3. Persatuan Indonesia
  4. Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

6. Rumusan VI: Konstitusi RIS

Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah Republik Indonesi semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada akhir 1949 Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta (RI Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk negara federal yang disodorkan pemerintah kolonial Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan hanya menjadi sebuah negara bagian saja. Walaupun UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai sebuah Konstitusi Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan seluruh negara bagian dari RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara terdapat dalam Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui pada 14 Desember 1949 oleh enam belas negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung dalam RIS.

a. Rumusan kalimat

“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.”

b. Rumusan dengan penomoran (utuh)

  1. ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
  2. perikemanusiaan,
  3. kebangsaan,
  4. kerakyatan
  5. dan keadilan sosial

 

7.  Rumusan VII: UUD Sementara

Segera setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh jalan kehancuran. Hanya dalam hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan diri dan bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta. Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI Yogyakarta, NIT, dan NST. Setelah melalui beberapa pertemuan yang intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST, menyetujui pembentukan negara kesatuan dan mengadakan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara. Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS No 37) yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara kesatuan ini terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD Sementara Tahun 1950.

a. Rumusan kalimat

“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, …”

b. Rumusan dengan penomoran (utuh)

  1. ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
  2. perikemanusiaan,
  3. kebangsaan,
  4. kerakyatan
  5. dan keadilan sosial

 

8. Rumusan VIII: UUD 1945

Kegagalan Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi keutuhan negara. Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang salah satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD Sementara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang digunakan.

Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat antara tahun 1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, diantaranya:

  1. Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
  2. Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

a. Rumusan kalimat

“… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

b. Rumusan dengan penomoran (utuh)

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
  3. Persatuan Indonesia
  4. Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
  5. Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

9. Rumusan IX: Versi Berbeda

Selain mengutip secara utuh rumusan dalam UUD 1945, MPR pernah membuat rumusan yang agak sedikit berbeda. Rumusan ini terdapat dalam lampiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.

a. Rumusan

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
  5. Keadilan sosial.

 

10. Rumusan X: Versi Populer

Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan diterima secara luas oleh masyarakat. Rumusan Pancasila versi populer inilah yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di dunia pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan ini pada dasarnya sama dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata “dan” serta frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada sub anak kalimat terakhir.

Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)

 a. Rumusan

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Sumber :

  1. UUD 1945
  2. Konstitusi RIS (1949)
  3. UUD Sementara (1950)
  4. Berbagai Ketetapan MPRS dan MPR RI
  5. Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RI
  6. Tim Fakultas Filsafat UGM (2005) Pendidikan Pancasila. Edisi 2. Jakarta: Universitas Terbuka
  7. http//wikipedia.org/sejarah-terbentuknya-pancasila/

Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah :

  • Rumusan Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) – tanggal 22 Juni 1945
  • Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar – tanggal 18 Agustus 1945
  • Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat – tanggal 27 Desember 1949
  • Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara – tanggal 15 Agustus 1950
  • Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)

Involving People With Products

catsmm catsmmm

Berikut ada beberapa contoh Perusahaan yang berhasil dalam melibatkan pelanggannya sehingga menghasilkan positioning yang cukup kuat.

Tide

Pada tahun 1964 Tide muncul sebagai “washday miracle” hingga sekarang menjadi best selling detergent di Amerika tidak lepas dari keajaiban pemasarannya juga, salahsatunya pada saat Tide berulang tahun yang ke 50. Tide tidak hanya merayakan hari jadi saja tetapi juga merayakan dirinya sebagai produk yang paling laku di pasaran US. Untuk tetap mengingatkan pelanggan akan sejarah dari the most popular laundry product, tide menyusun program public relations selama satu tahun dengan Burson-Marsteller.

Kampanye publisitas lalu di lakukan dengan P&G archivist Ed Rider sebagai Spokeperson. Perayaan utama dari hari jadi Tide adalah mengadakan kontes “dirtiest kid in America” dengan pesan bahwa “tide knows kids have fun getting dirty and tide kniws how to get their clotes clean”

Media-media utama diundang dan menerima press kit yang berisi cerita dan foto tentang sejarah dari Tide, informasi tentang formula produk baru yang membuktikan bahwa revolusi kemasan box itu lebih baik dari apapun, dan pengumuman kontes “dirtiest kid in America”

Peraturan dalam kontes, orangtua diajak untuk mengirimkan foto anaknya yang kotor(oleh lumpur,tanah, makanan, dll), usia antara 5-12 tahun dan menyisipkan pesan “how my kid came clean with Tide”. Kontes ini didukung oleh publisitas, in-store-pad, dan free standing insert

Sepuluh finalis akan dipilih dan 10 foto yang terpilih akan dicantumkan dalam People Magz. Pelanggan lain juga diikutsertakan untuk memilih the “dirtiest kid in America” dengan menelfon ke saluran bebas pulsa. Tide juga bekerjasama denga People Weekly, ini sangat memberikan keuntungan untuk Tide dalam merangkul target audiens. Tide mendapatkan 10.000 penelfon dalam jangka waktu 2 hari dengan bekerjasama dengan People Weekly.  Untuk meningkatkantambahan pemberitaan, publisitas di tempatkan di media media lokal dari kota asal finalis.

Pada tahap final, finalis dan keluarganya akan didatangkan ke New York untuk berpartisipasi dalam “Stain-a-Thon” di Central Park. Dlaam event tersebut, anak yang beruntung dan menjadi the dirtiest kid in America adalah monique dari Missisipi dan berhasil mendapatkan liburan gratis ke florida bersama keluarganya juga stok deterjen Tide selama satu tahun.

Untuk pencapaian Corporate Social Responsibility (Cause Related CSR), Tide tidak hanya menjadikan acara ini sebagai kontes untuk bersenang-senang saja. Tide mendonasikan 50 cent dari setiap pemasukan untuk disumbangkan ke yayasan Give Kids a World, yaitu sebuah organisasi non-provit yang menyediakan liburan untuk anak yang sedang sakit beserta keluarganya. Tide berhasil mengumpulkan sebesar $10,000 pada acara “Stain-a-Thon”. Selain itu, perayaan hari jadi Tide ini juga sekaligs untuk memperkenalkan produk Tide yang baru yaitu Tide Ultra 2.

Campbell Soup

Campbell soup dikenal tidak hanya menjadi soup favorit keluarga di Amerika, juga menjadi ikon dari pop-art. Seniman pop art yang melegenda, Andy Warhol melukis kaleng campbell soup pertamanya pada tahun 1962 dan selama setahun telah menghasilkan 10,000 karya, setiap seri kalengnya mengalami perubahan dari warna, bentuk, dan perbandingan kaleng.

Pada tahun 1985, atas saran dari konsultan public relation yang digunakan oleh Campbell yaitu Golin/Harris, Campbell meminta Warhol untuk menggambar kesan nya dalam sebuah box untuk produk jenis baru Campbell yaitu soup Kering. Lukisan tersebut kemudian diperkenalkan di New York’s Whitney Museum.

Wajar saja kalau Campbell membuat kontes “Art of soup” untuk menyedot perhatian untuk menjadi perusahaan yang paling komprehensif dalam mendesign ulang labelnya dalam sejarah 1994. Untuk pertama kalinya pada label terbarunya ditempatkan foto dari produknya disekeliling kaleng dan di bagian tengah. Campbell ingin menciptakan awareness yang tersebar luas dan dukungan dari konsumen akan design yang baru yang membangun originalitas dari red and white label. Dengan mengusung tagline “the search for the next andy warhol” kontes di buat untuk menghargai seniman pada masa 90an. Ini diperuntukan bagi kategori pemuda, amatir, dan professional.

Kontes ini diumumkan pada saat press conference di Campbell museum dan dipancarkan ke stasiun televisi melalui video news release. Format pendaftaran juga ditampilkan di koran selama dua minggu setelah pengumuman. Lebih dari 10.000 pendaftar dan 3000 diantaranya tersebar luas oleh public relations.

Tahap kedua dari program public relations adalah pengumuman pemenang akan dilakukan di whitney museum, empat finalis dengan karyanya dan 200 buah soup art dari ribuan pendaftar terpilih akan di tampilkan dalam event. Dan yang berhasil memenangkan kontes ini adalah Matthew yang berumur 11 tahun, ia mendapatkan 15 menit ketenaran yang dijanjikan sebagai the next warhol dalam karyanya yang bertemakan Egyptian Hieroglyph (tulisan mesir kuno). Pemberitaan kontes ini sudah tersebar luas dimana-mana dan tidak berhenti sepanjang satu tahun, merangkul 200 juta pembaca, pendengar radio, dan pemirsa TV yang sebanding dengan $1,8 juta bila beriklan.

M&M’s

Kampaye yang dilakukan oleh M&M’s adalah kampanye pemilihan warna dari permen coklat yang dipunyai M&M’s. M&M’s akan menentukan apakah diteruskan dengan warna coklat atau pindah menjadi biru, pink atau ungu.

Kampanye dimulai dengan mengadakan pesta besar bagi anak-anak di Rumah Sakit Los Angeles yang diliput oleh berita dan lfestyle tv program. Untuk membuat dayatarik dari konsumen luas, perusahaan membuat kostum karakter M&M’s berukuran besar yang dapat dijangkau oleh lensa media, dan akan terus dipublikasikan sepanjang tiga bulan kampanye.

Karakter M&M yang berwarna biru, pink dan ungu mulai menjelajah negara. Mereka tampil dalam lebih dari 100 event kampanye di 23 kota yang terletak di mall-mall, kampus, dan tempat lainnya dimana target yang berusia 24 tahun kebawah berkumpul.

Pemungutan suara ditawarkan pada pedagang eceran/pengecer. Selama dua minggu televisi mengajak pemirsanya untuk memiilih dan vote sesuai dengan keinginan mereka. Berita dari kampanye warna M&M’s ini telah beredar di 1000 koran, lebih dari 200 stasiun televisi dan menghasilkan 10,2juta orang memilih warna favoritnya. Tiga karakter warna M&M’s mengakhiri perjalannanya pada press conference di New York’s Empire State Building. Hasil terakhir didapatkan kalau birulah yang mendapatkan suara tebanyak sebesar 54%. Bahkan setelah berakhirnya pemilihan suara, perusahaan masih diuntungkan dengan banyaknya permintaan konsumen akan produk dengan warna baru pilihan mereka.

Kampanye berlanjut saat perusahaan mengumumkan M&M’s karakter yang berwarna biru akan segera diluncurkan. Kampanye merambah ke media lagi saat balon super besar M&M’s muncul di pemberitaan televisi saat stasiun televisi meliput Macy’s Thanksgiving day Parade.

 

Flinstone Vitamins

Flinstone Vitamins mengadakan kampanye yang dinamakan ”Here’s betty”. Berawal dari interview yang dilakukan oleh Rosie O’Donell (pengisi Suara Betty dalam Program acara Kartun Flintstone), Ia mengaku sedih bahwa Betty yang notabene adalah pelaku utama dalam film tidak dijadikan salah satu bentuk dari Flintstone Vitamin. Rosie bahkan menambahkan bahwa ia akan menelfon agensi nya terkait bentuk vitamin ini pada saat interview live di stasiun nasional CBS.

Perusahaan memanfaatkan kesedihan yang dirasakan oleh Rosie dengan mengadakan kampanye yang dinamakan “Here’s Betty”. Pihak promosi dari Flintstone Vitamin menempatkan ikon Betty di beberapa kemasan, dan menawarkan hadiah bagi konsumen yang beruntung menemukannya.

Ada beberapa alasan rasional yang dilontarkan dari pihak perusahaan mengapa Betty tidak dimasukan ke dalam bentuk dari vitamin, pertama, bentuk badan betty yang langsing pada bagian pinggang terlalu kecil sehingga pada pembuatannya seringkali patah,  kedua, pihak pabrik pada tahun 60an harus memutuskan hal yang berat untuk membandingkan antara betty dan wilma, tetapi kemudian betty pada filmnya merupakan tokoh yang murah hati sehingga akhirnya wilma yang notabene lebih populer lah yang terpilih.

Strategi dari kampanye ini adalah untuk membiarkan publik menentukan nasib dari Betty dalam pemungutan suara nasional. Batu besar sebagai booth/tempat pemilihan suara di buat dimana pemilih dapat memilih “ya” atau “tidak” memakai batu sebagai alatnya. Pemilihan dilakukan di dalam mall high trafic di beberapa negara bagian Amerika. Patung Betty berukuran besar juga dipersiapkan perusahaaan untuk menarik perhatian pengunjung mall. Pemilihan suara di tingkat regional menarik perhatian dari media lokal yang menguntungkan bagi perusahaan sebagai pemberitaan tambahan. Nasib Betty juga tidak hanya ditentukan oleh pengunjung mall saja tetapi juga dari saluran bebas pulsa dimana semua ornag dapat memberikan suara.

Hasil dari pemungutan suara yang telah dilakukan oleh perusahaan merujuk bahwa Betty seharusnya dijadikan salahsatu bentuk vitamin, lebih dari 3000 anak-anak dan juga ibunya memberikan suara di voting booths dan lebih dari 17000 penelfon terdaftar dan 91 persennya memlih untuk menambahkan Betty pada Flintstone vitamins.

25 tahun setelah suplement anak-anak yang terinspirasi dari film kartun ini dluncurkan, perusahaan Bayer akan menambah Betty sebagai salahsatu bentuk vitamin nya. Tetapi perusahaan harus menghilangkan satu tokoh agar betty dapat masuk, dan itu adalah flintmobile. Publisitas akan Betty telah Muncul pada lebih dari 1000 media cetak dan pemberitaan melalui siaran yang menghasilkan 175juta kesan pemirsanya. Hasil nyata lain dari program ini adalah penjualan yang menigkat dari 31% menjadi 34%

ONTOLOGI : HAKEKAT YANG DIKAJI

 

phrenologicalchartphrenologicalchartm

Ontologi adalah ilmu yang mengkaji apa hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah yang sering kali secara populer banyak orang menyebutnya dengan ilmu pengetahuan, apa hakikat kebenaran rasional atau kebenaran deduktif dan kenyataan empiris yang tidak terlepas dari persepsi ilmu tentang apa dan bagaimana. Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang dapat dipikirkan manusia secara rasional dan bisa diamati melalui panca indera manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu.

Beberapa cakupan ontologi :

  • Metafisika
  • Asumsi
  • Peluang
  • asumsi dalam ilmu
  • Batas-batas pembelajaran dalam ilmu

1.   Metafisika

Bidang telaah filsafati yang disebut metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Pemikiran di ibaratkan roket yang meluncur ke bintang-bintang menembus galaksi , maka metafisika adalah landasan peluncurannya.

Acuan berfikir :

apakah hakekat kenyataan ini sebenar-benarnya ?

Beberapa tafsiran metafisika :

Di alam ini terdapat ujud – ujud yang bersifat gaib (supernatural) dan ujud-ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa bila dibandingkan dengan alam yang ada.

Contoh pemikiran supernatural :

Kepercayaan “animisme” manusia percaya terhadap roh-roh yang bersifat gaib yang terdapat di dalam benda-benda seperti batu, pohon-pohonan , air terjun dll. Pantisme — > serba Tuhan.

Lawan dari “supernaturalisme“adalah paham “naturalisme” , yang menolak pemdapat bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat supernatural ini. Menurut naturalisme gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib , melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri.
Naturalisme / materialisme :

Dikembangkan oleh Democritos (460-370 SM) mengembangkan teori tentang atom yang di pelajari dari gurunya bernama Leucippus. Hanya atom dan kehampaan itu bersifat nyata.

Indentik paham naturalisme adalah paham :

  1. Mekanistik : gejala alam dapat didekati dari segi proses kimia fisika.
  2.  Vitalistik : hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara subtantif dengan proses tersebut.
  3. Monistik : tidak ada perbedaan antara pikiran dengan zat , mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama.
  4. Demokritos adalah seorang filsuf yang termasuk di dalam Mazhab Atomisme. Ia adalah murid dari leukippos, pendiri mazhab tersebut Demokritos mengembangkan pemikiran tentang atom sehingga justru pemikiran Demokritos yang lebih dikenal di dalam sejarah filsafat

2.    Asumsi

Asumsi adalah praduga anggapan semetara (yang kebenarannya masih dibuktikan) . timbulnya asumsi karena adanya permasalahan yang belum jelas, seperti belum jelasnya hakekat ala mini, yakni apakah gejala ala mini tunduk kepada determinisme , yakni hukum alam yang bersifat universal ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas ataukah keumuman memang ada namun berupa peluang , sekedar tangkapan probalistik (kemungkinan sesuatu hal untuk terjadi). Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Tomas Hubes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal.

Sifat asumsi :
Tidak muthlak atau pasti sebagaimana ilmu yang tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bersifat muthlak. Jadi asumsi bukanlah suatu keputusan muthlak.

Kedudukan ilmu dalam asumsi :
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan , karena keputusan harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.

Resiko asumsi :
Apa yang diasumsikan akan mengandung resiko secara menyeluruh. Seseorang yang mengasumsikan usahanya akan berhasil maka direncanakan akan diadakan pesta keberhasilannya. Secara tiba- tiba usahanya dinyatakan tidak berhasil. Resikonya menggagalkan pelaksanaan pestanya.

Kesimpulan :
1. sebuah asumsi aalah sebuah ketidakpastian.
2. asumsi perlu dirumuskan berdasarkan ilmu pengetahuan.
3. timbulnya asumsi karena adanya sesuatu kejadian / kenyataan.

Beberapa asumsi dalam ilmu
Akan terjadi perbedaan pandang suatu masalah bila ditinjau dari berbagai kacamata ilmu begitu juga asumsi.

Ilmu sekedar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmtis.Pragmatis : sesuatu yang mengandung manfaat.

Asumsi-asumsi dalam ilmu contohnya ilmu fisika yakni ilmu yang paling maju bila di bandingkan dengan ilmu-ilmu lain.
Fisika merupakan ilmu teoritis yang di bangun atas system penalaran deduktif yang meyakinkan serta pembutktian induktif yang sangat mengesankan.
Fisika terdapat celah-celah perbedaan yang terletak di dalam pondasi dimana dibangun teori ilmiah diatas yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya.(zat,gerak,ruang dan waktu).

Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain; Aksioma. Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.Postulat. Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya Premise. Pangkal pendapat dalam suatu entimen . Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Junjung, 2005):

Deterministik

Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.

Pilihan Bebas

Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu.

 Probabilistik

Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi.

Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.

Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena itu; Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak.

Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif

Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau bersifat peluang

3.     Peluang

Peluang secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.

4.     Asumsi dalam Ilmu

Waktu kecil segalanya kelihatan besar, pohon terasa begitu tinggi, orang-orang tampak seperti raksasa Pandangan itu berubah setelah kita berangkat dewasa, dunia ternyata tidak sebesar yang kita kira, wujud yang penuh dengan misteri ternyata hanya begitu saja. Kesemestaan pun menciut, bahkan dunia bisa sebesar daun kelor, bagi orang yang putus asa.

Katakanlah kita sekarang sedang mempelajari ilmu ukur bidang datar (planimetri). Dengan ilmu itu kita membuat kontruksi kayu bagi atap rumah kita. Sekarang dalam bidang datar yang sama bayangkan para amuba mau bikin rumah juga. Bagi amuba bidang datar itu tidak rata dan mulus melainkan bergelombang, penuh dengan lekukan yang kurang mempesona. Permukaan yang rata berubah menjadi kumpulan berjuta kurva.

Asumsi dan Skala Observasi

Mengapa terdapat perbedaan pandangan yang nyata terhadap obyek yang begitu kongkret sperti sebuah bidang? Ahli fisika Swiss Charles-Eugene Guye menyimpulkan gejala itu diciptakan oleh skala observasi. Bagi skala observasi anak kecil pohon-pohon natal itu begitu gigantik, sedangkan bagi skala observasi amuba, bidang datar ini merupakan daerah pemukiman yang berbukit-bukit.

Jadi secara mutlak sebenarnya tak ada yang tahu seperti apa sebenarnya bidang datar itu. hanya Tuhan yang tahu! Secara filsafati mungkin ini merupakan masalah besar namun bagi ilmu masalah ini didekati secara praktis. Seperti disebutkan terdahulu ilmu sekadar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis. Dengan demikian maka untuk tujuan membangun atap rumah, sekiranya kita asumsikan bahwa permukaan papan itu adalah bidang datar, maka secara pragmatis hal ini dapat dipertanggungjawabkan.

Pada awalnya kausalitas dalam ilmu-ilmu alam menggunakan asumsi determinisme. Namun asumsi ini goyang ketika MaxPlanck pada tahun 1900 menemukan teori Quantum. Teori ini menyatakan bahwa radiasi yang dikeluarkan materi tidak berlangsung secara konstan namun terpisah-pisah yang dinamakan kuanta. Fisika quantum menunjukkan adanya partikel-partikel yang melanggar logika hukum fisika dan bergerak secara tak terduga

Selanjutnya Indeterministik dalam gejala fisik ini muncul dengan pemenuhan Niels Bohr dalam Prinsip Komplementer (Principle of Complementary) yang dipublikasikan pada tahun 1913. Prinsip komplementer ini menyatakan bahwa elektron bisa berupa gelombang cahaya dan bisa juga berupa partikel tergantung dari konteksnya. Masalah ini yang menggoyahkan sensi-sendi fisika ditambah lagi dengan penemuan Prinsip Indeterministik (Principle of Indeterminancy) oleh Werner Heisenberg pada tahun 1927. Heisenberg menyatakan bahwa untuk pasangan besaran tertentu yang disebut conjugate magnitude pada prinsipnya tidak mungkin mengukur kedua besaran tersebut pada waktu yang sama dengan ketelitian yang tinggi. Prinsip Indeterministik ini, kata William Barret, menunjukkan bahwa terdapat limit dalam kemampuan manusia untuk mengetahui dan meramalkan gejala-gejala fisik.

Ilmu-ilmu ini bersifat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan multidisipliner. (jadi buka “fusi” dengan penggabungan asumsi yang kacau balau).

Hal – hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan asumsi

1. Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disipin keilmuan.

Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian teoretis.. Asumsi manusia dalam administrasi yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi, dan praktek administrasi.

2. Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari ‘keadaan sebagaimana adanya’ bukan ‘bagaimana keadaan yang seharusnya’.

Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia ‘yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya’ maka itu sajalah yang kita jadikan sebagai pegangan tidak usah ditambah dengan sebaiknya begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam penyusunan kebijaksanaan (policy), atau strategi, serta penjabaran peraturan alinnya, maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua itu membantu kita dalam menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori keilmuan sebab metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan sesungguhnya sebagaimana adanya.

Seseorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Sesuatu yang belum tersurat (atau terucap) dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat.

5.     Batas Penjelajahan Ilmu

ilmu memulai penjelajahannnya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabnya adalah tidak; sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Baik hal-hal yang terjadi sebelum hidup kita, maupun apa-apa yang terjadi sesudah kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.

Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam batas pengalaman kita? jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia: yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita nyatakan kepada ilmu, melainkan kepada agama, sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah seperti itu.

Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimana kita melakukan pembuktian secara metodologis? bukankah hal ini merupakan suatu kontradiksi yang menghilangkan keahlian metode ilmiah?

Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajahan ilmu, kata seorang, Cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan. Memang demikian, jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas pengalaman manusia pun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua (termasuk ilmu) berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek, semua (termasuk ilmu) berpaling kepada pengkajian estetik. Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta, demikian kata Einstein.

Dengan makin sempitnya daerah penjelajahan suatu bidang keilmuan maka sering sekali diperlukan “pandangan” dari disiplin-disiplin lain. Saling pandang-memandang ini, atau dalam bahasa protokolnya pendekatan multi-disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang tetangga-tetangga yang berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua: di mana disiplin seseorang berhenti dan di mana disiplin orang lain mulai. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multidisipliner tidak akan bersifat konstruktif melainkan berubah menjadi sengketa kapling (yang sering terjadi akhir-akhir ini).

DAFTAR PUSTAKA

Kattsoff, Louis O. Pengantar Filsafat, penerjemah Seojono Soemargono ,Tiara Wacana, Yogyakarta 1995.

Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, PT Pancaraintan Indahgraha, Jakarta, 2007

Suriasumantri Jujun (editor), Ilmu dalam Perspektif, PT. Gramedia, Jakarta, 2007.

Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta, 2010.

Menguak Cakrawala Keilmuan. 2010. Program Pascasarjana, Universitas Negeri Jakarta, 2010

INTERNET

http://jorjoran.wordpress.com/2011/01/11/beberapa-asumsi-dalam-ilmu/

Otoriter vs Demokratis

obama-khadafiobama-khadafi

Menurut Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Ada beberapa aspek yang terkait dengan kepemimpinan, yaitu :

Kekuasaan

Kekuasaan dapat didefinisikan sebagai suatu potensi pengaruh dari seorang pemimpin. Kekuasaan seringkali dipergunakan silih berganti dengan istilah pengaruh dan otoritas.

Pengaruh

Pengaruh sebagai inti dari kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk mengubah sikap, perilaku orang atau kelompok dengan cara-cara yang spesifik.

Konflik

Konflik dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana sebuah usaha dibuat dengan sengaja oleh seseorang atau suatu unit untuk menghalangi pihak lain yang menghasilkan kegagalan pencapaian tujuan pihak lain atau meneruskan kepentingannya.

Ada dua macam gaya kepemimpinan yaitu Demokrasi dan Otoriter

1.      Demokrasi

Demokrasi adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya.

Kepemimpinan demokratis menempatkan manusia sebagai faktor utama dan terpenting dalam setiap kelompok/organisasi. Gaya kepemimpinan demokratis diwujudkan dengan dominasi perilaku sebagai pelindung dan penyelamat dan perilaku yang cenderung memajukan dan mengembangkan organisasi/kelompok.

Hakikat demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan sistem demokrasi adalah suatu sistem yang berpusat pada rakyat. Dan tentu, dalam sistem ini, rakyatlah yang menjadi aktor utama. Mulai dari pemilihan presiden, gubernur, bahkan camat sekalipun, dipilih oleh rakyat. Dari sistem demokrasi ini, rakyat diberikan ruang yang sangat luas untuk berekspresi dan menyampaikan aspirasi dan mengakses informasi secara terbuka luas. Sehingga rakyat bebas untuk berasosiasi dengan segala ras tanpa memandang strata sosial. Karena tujuan dari sistem demokrasi adalahmembentuk kewarganegaraan yang inklusif.

Henry B. Mayo (Budiardjo, 2003) mengatakan bahwa ada beberapa kriteria demokrasi.

Pertama;penyelesaian perselisihan dengan damai dan melembaga. Yaitu mengusung musyawarah dalam penyelesaian masalah.

Kedua;pergantian pemimpin secara teratur. Dalam sistem demokrasi, seorang presiden diberikan batasan waktu dalam memimpin agar sistem kepemimpinan berjalan secara dinamis. Kemudian dalam sistem demokrasi, kekerasan dibatasi. Sistem demokrasi tidak akan berjalan efektif apabila didalam masyarakat yang multikultural tidak dapat menerima perbedaan. Sebab, sitem demokrasi tidak mungkin bisa terlaksana sesuai tujuan tanpa adanya rasa persatuan antar masyarakat.

Morlino(2004)pernah mengingatkan bahwademokrasi yang baik harus memenuhi tiga kualitas.

Pertama;kualitas hasil. Artinya, pemerintahan yang memiliki legitimasi dapat memuaskan warga Negara.

Kedua;kualitas isi atau substansi. Dalam kualitas isi, warga Negara memiliki kebebasan dan kesetaraan.

Ketiga;kualitas prosedur. Warga Negara memiliki kebebasan untuk memeriksa dan mengevaluasi bagaimana pemerintah mencapai tujuan-tujuan kebebasan dan kesetaraan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Ciri-ciri kepemimpinan demokratis:

  • perlindungan hak asasi manusia , menjunjung tinggi hukum , tunduk terhadap kemauan orang banyak , tanpa mengabaikan hak golongan kecil agar tidak timbul diktator mayoritas
  • bersumber pada “ kehendak rakyat “dan bertujuan untuk menyampaikan kebaikkan atau kemaslahatan bersama, untuk itu demokrasi selalu berkaitan dengan persoalan perwakilan kehendak rakyat.
  • Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan dari pemimpin.
  • Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk tujuan kelompok dibuat, dan jika dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih.
  • Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan pembagian tugas ditentukan oleh kelompok.

 

Sistem Politik Demokrasi

  • Adanya pembagian kekuasaan
  • Pemerintahan konstitusional atau berdasarkan hukum
  • Pemerintahan mayoritas
  • Pemilu bebas atau demokratis
  • Parpol lebih dari satu
  • Managemen terbuka
  • Pers bebas
  • Perlindungan terhadap HAM dan adanya jaminan Hak minoritas
  • Peradilan bebas tidak memihak
  • Penempatan pejabat pemerintahan dengan Merit sistem
  • Kebiaksanaan pemerintah dibuat badan perwakilan politik tanpa paksaan
  • Konstitusi atau UUD yang demokratis.
  • Penyelesain masalah secara damai melalui musyawarah atau perundingan

Keuntungan Sistem Demokratis :

  • Adanya persamaan dan kebebasan politik.
  • Tidak ada stratifikasi ekonomi materil atau moril.
  • Bersatu dalam perbedaan.
  • Distribusi kekuasaan yang relative merata ada pada presiden atau perdana mentri.
  • Kewenangannya adalah rule of law dan konstitusional
  • Rakyat ambil bagian secara aktif atau mekanisme pasar.
  • Terjadi Kebebasan PERS.
  • orang yang memimpin dengan tata cara memimpin demokratis, biasanya memiliki kepribadian halus, dan berjuang untuk rakyatnya.
  • pemimpin dengan tata cara kepemimpinan demokratis biasanya di dukung penuh oleh masyarakat, karena pemimpin yang demokratis lebih mengerti apa yang rakyatnya atau orang-orang yang di pimpinnya inginkan.
  • orang yang di anggap sebagai pemimpinnya bisa mendapatkan ide-ide, solusi-solusi, walaupun pemimpin itu yang tetap harus memutuskan segalanya.
  • Adanya pemilihan Umum untuk menentukan siapa saja yang bisa menjadi wakil rakyat dan Presiden.

Kerugian SistemDemokratis :

  • Masyarakat menjadi terlalu bebas mengeluarkan pendapat sehingga kurang ada sikap saling menghormati satu sama lain.
  • banyak menimbulkan pro dan kontra terhadap suatu keputusan yang kan di ambil.
  • serangan-serangan dari luar maupun dalam, serangan ini bukan berbentuk fisik, namun mental dan pola pikir sang pemimpin.
  • rumor-rumor yang di sebarkan dalam tubuh kepemerintahan rezim demokratis adalah cara paling ampuh pertama setelah penyebaran pola pikir kepada orang-orang yang dipercaya oleh pemimpin itu untuk berbuat KKN
  • pemimpin yang demokratis lebih longgar dari otoriter, maka dari itu, Democratizme bisa lebih cepat hancur dari pada rezim otoriter, jika sang pemimpin, tidak peka terhadap orang-orang yang menjadi kepercayaannya untuk memimpin bersamanya memajukan rakyat atau orang-orang yang dipimpinnya.

 

Ada beberapa bagian dalam demokrasi yaitu :

Demokrasi Langsung

Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk demokrasi dimana setiap rakyat memberikan suara atau pendapat dalam menentukan suatu keputusan.Dalam sistem ini, setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga mereka memiliki pengaruh langsung terhadap keadaan politik yang terjadi.

Kelebihan dan Kekurangan dari Demokrasi Langsung

  • Menjamin kendali warga negara terhadap kekuasaan politik
  • Sulit dioperasikan pada masyarakat yang berukuran besar
  • Mendorong warganegara meningkatkan kapasitas pribadinya; misalnya meningkatkan kesadaran politik, meningkatkan pengetahuan pribadi dll
  • Menyita terlalu banyak waktu yang diperlukan warganegara untuk melakukan hal-hal lain; dan karenanya bisa menimbulkan apatisme
  • Membuat warganegara tidak tergantung pada politisi yang memiliki kepentingan sempit
  • Sulit menghindari bias kelompok dominan
  • Masyarakat lebih mudah menerima keputusan yang sudah dibuat
  • Masyarakat lebih dekat dengan (konflik) politik dan karenanya berpotensi melahirkan kehidupan bersama yang tidak stabil

Demokrasi Perwakilan

Dalam demokrasi perwakilan, seluruh rakyat memilih perwakilan melalui pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka

Kelebihan dan Kekurangan dari Demokrasi Perwakilan

  • Lebih mudah diterapkan dalam masyarakat yang lebih kompleks
  • Jarak yang jauh dari proses pembuatan kebijakan yang sesungguhnya bisa membuat masyarakat bisa menolaknya ketika hendak diterapkan
  • Mengurangi beban masyarakat dari tugas-tugas membuat, merumuskan dan melaksankan kebijakan bersama
  • Mudah terjebak dalam kepentingan para wakil rakyat yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat
  • Memungkinkan fungsi-fungsi pemerintahan berada di tangan-tangan yang lebih terlatih
  • Demokrasi perwakilan menghadapi persoalan waktu dan jumlah seperti yang dihadapi demokrasi langsung
  • Cenderung menciptakan politik yang stabil karena menjauhkan masyarakat dari (konflik) politik; dan karenanya mendorong kompormi

Demokrasi Permusyawaratan

bentuk demokrasi yang menggabungkan aspek partisipasilangsung dan bentuk demokrasi perwakilan

Kelebihan dan Kekurangan dari Demokrasi Permusyawaratan

  • Memberikan kesempatan yang lebih baik bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan; tanpa mendekatkan mereka dengan (konflik) politik
  • Dalam praktiknya permusyawaratan sulit menghindari kecenderungan elitisme
  • Mendorong warganegara untuk selalu memiliki kesadaran politik yang tinggi dan selalu memperkaya diri dengan pengetahuan tentang perkembangan masyaraktnya
  • Sulit mengharapkan setiap warganegara memiliki kepedulian politik yang sama dan setara
  • Mendorong warganegara untuk selalu memikirkan kepentingan bersama
  • Memerlukan masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan sarana komunikasi yang modern

Mengamati aplikasi dari sistem demokrasi yang ada di Indonesia saat ini, maka sistem demokrasi bukanlah solusi kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Menurut Plato, sebuah negara yang terdapat undang-undang dasar, maka bentuk negara yang paling buruk adalah demokrasi. Sebab, apabila undang-undang yang dibuat oleh seorang pemimpin akan sangat beresiko terjadi penyelewengan undang-undang. pelaksanaannyapun tidak akan berjalan sesuai tujuan, karena otoritas pemimpin tidaklah maksimal. Hal ini cenderung terjadi manipulasi oleh sebagian kaum medioker.

2.      Otoriter

Otoriter biasa disebut juga sebagai paham politik otoritarianisme adalah bentuk pemerintahan yang bercirikan oleh penekanan kekuasaan hanya ada pada negara tanpa melihat derajat kebebasan individu. sistem politik ini biasanya menentang demokrasi dan kuasaan pemerintahan pada umumnya diperoleh tanpa melalui sistim demokrasi pemilihan umum. Kepemimpinannya dilakukan oleh seorang pemimpin dengan perilaku otoritee dimana kekuasaan berada di tangan satu pihak saja. Pemimpin otoriter (diktator) dalam praktik memimpin ia mengutamakan kekuasaan (power). Seorang pemimpin bertipe otokratis menganggap dirinya adalah segala-galanya (people centered) Egonya kokoh menyatakan bahwa dirinya adalah pusat kekuasaan dan kewenangan sehingga ia berhak menjadikan anak buah sesuai dengan kehendaknya.

Perilaku memimpin akan menampakkan ciri kepemimpinannya antara lain :

  • Pemimpin jenis otokratis biasanya sangat perhatian terhadap efisiensi dan efektivitas kerja
  • Memegang kewenangan mutlak (bersikap adigang, adigung dan adiguna).
  •  Kuasa dipusatkan pada diri pemimpin (aji mumpung)
  •  Merumuskan sendiri ide, rencana dan tujuan.
  • Memilih kebijakan sendiri.
  • Menetapkan keputusan sendiri.

Sistem Politik Otoriter :

  • Pemusatan kekuasaan pada satu atau sekelompok orang.
  • Pemerintahan tidak berdasarkan konstitusional
  • Negara berdasarkan kekuasaan
  • Pembentukan pemerintahan tidak berdasar musyawarah, tetapi melalui dekrit
  • Pemilu tidak demokratis. pemilu dijalankan hanya untuk memperkuat keabsahan penguasa atau pemerintah negara
  • Sistem satu partai politik atau ada beberapa parpol tapi hanya ada satu porpol yang memonopoli kekuasaan
  • Menejemen pemerintahan tertutup
  • Tidak ada perlindungan HAM , hak monoritas ditindas
  • Pers tidak bebas dan sangat dibatasi
  • Badan peradilan tidak bebas dan bisa diintervensi oleh penguasa

Keuntungan Sistem Otoriter :

  • Presiden memiliki kekuasaan Penuh atas semua perintahnya.
  • Tidak ada persamaan dan kebebasan politik.
  • Sama rata dan sama rasa dalam kebutuhan materil.
  • Identitas bersama bersifat sakral dan ideology sebagai agama politik.
  • Hubungan kekuasaan Monopoli , sentral tunggaldan non konsensus ada pimpinan partai.
  • Legitimasi kewenangannya totaliter ,doktriner dan paksaan.
  • Konflik dalam masyarakat cenderung berkurang karena adanya pengawasan hal-hal yang dianggap dapat menggoncangkan masyarakat
  • Mudah membentuk penyeragaman/integritas dan konsensus yang diharapkan khususnya secara umum pada negara sedang membangun yang memerlukan kestabilan.
  • sang pemimpin dapat mengatur sepenuhnya, kegiatan, perilaku, dan lain-lain dari orang yang di pimpinnya, kepemimpinan otoriter biasanya tahu apa yang harus di lakukan terlebih dahulu dalam mencapai tujuannya, dan tahu yang mana, yang baik dan yang mana tidak bagus dalam kepemimpinan-nya


Kekurangan Siste
m Otoriter :

  • Tidak ada kebebasan Pers.
  • Segala keputusan baik yudikatif atau pun legislative harus di tentukan oleh presiden.
  • Legitimasi kewenangannya totaliter ,doktriner dan paksaan.
  • Adanya penekanan terhadap keinginan untuk bebas mengemukakan pendangan/ pendapat
  • Mudah terjadi pembredelan penerbitan media yang cenderung menghancurkan suasana kerja dan lapangan penghasilan yang telah mapan.
  • kepemimpinan otoriter muncul dari rakyatnya atau orang yang dipimpinnya, biasanya pemimpin yang menggunakan tata cara otoriter, lebih bersikap agresif dan keras, bahkan untuk sebagian pemimpin ada yang non-manusiawi.
  • pemimpin dengan cara otoriter, lebih banyak di benci, karena kepemimpinannya yang sewenang-wenang, dan karena tata cara itu, akan banyak muncul pemberontakan-pemberontakan dari rakyatnya, namun berhasilnya atau tidak, munculnya pemberontakan itu atau tidak, tergantung bagaimana, pemimpin yang otoriter itu mengendalikan dan mempengaruhi orang-orang yang dipimpinnya
  • Tertutupnya kesempatan untuk berkreasi.

 

Uses and Gratification Theory

ug

Penelitian tentang teori uses and gratifications sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 1940an ketika para peneliti tertarik untuk mengetahui mengapa audiens memiliki pola penggunaan media yang berbeda-beda (Wimmer dan Dominick, 1987).

Penelitian tentang uses and gratifications pada awalnya hanya berupa penelitian deskriptif yang berusaha untuk mengklasifikasikan respons khalayak terhadap penggunaan media ke dalam beberapa ketegori (Berelson, Lazarsfeld, & McPhee, 1954; Katz & Lazarsfeld, 1955; Lazarsfeld, Berelson, & Gaudet, 1948; Merton, 1949 dalam Ruggerio, 2000).

Wimmer & Dominick (1987) menyebutkan baru  pada tahun 1950an hingga 1960an penelitian uses and gratifications ini lebih menfokuskan pada identifikasi variabel-variabel psikologis dan sosial yang diperkirakan sebagai precursors dalam perbedaan pola konsumsi media massa. Beberapa penelitian pada periode ini,disebutkan oleh Ruggerio (2000), dilakukan oleh banyak peneliti dengan subyek dan obyek yang bervariasi. Schramm, Lyle, dan Parker (1961) misalnya meneliti tentang penggunaan televisi oleh anak-anak yang dipengaruhi oleh perkembangan mental anak bersangkutan dan hubungannya dengan orangtua dan teman-temannya.

Ruggerio (2000) pun mensitasi penelitian Katz dan Foulkes (1964) dalam mengkonsepsikan penggunaan media massa sebagai pelarian sedangkan Klapper (1963) menekankan pentingnya menganalisa efek dari penggunaan media daripada sekedar melabeli motif penggunaan seperti yang telah dilakukan banyak peneliti sebelumnya. Greenberg and Dominick (1969) dalam penelitian selanjutnya menyimpulkan bahwa ras dan kelas sosial berpengaruh pada bagaimana remaja menggunakan televisi sebagai bahan pelajaran informal.

Selama tahun 1970an penelitian dengan intens menguji motivasi audiens dan membangun tipologi-tipologi tambahan dalam penggunaan media untuk memperoleh kepuasan sosial dan psikologis. Hal ini merupakan jawaban dari kritik-kritik yang disampaikan oleh beberapa ilmuwan terhadap teori uses and gratifications.

Kritik yang disampaikan oleh Elliott (1974), Swanson (1977), serta Lometti, Reeves, and Bybee (1977) yang mengungkit bahwa teori uses and gratifications ini memiliki empat masalah konseptual yakni ketidakjelasan kerangka konseptual, konsep mayor yang kurang tepat, penjelasan teori pendukung yang membingungkan dan kegagalan dalam memperhitungkan persepsi audiens terhadap konten media (Ruggerio, 2000:4).

Beberapa contoh penelitian dari periode ini antara lain penelitian Rosengreen (1974) yang menyatakan bahwan beberapa kebutuhan dasar beinteraksi dengan karakteristik personal dan lingkungan sosial seseorang akan menghasilkan beberapa permasalahan dan beberapa solusi. Masalah dan solusi yang ditimbulkan ini merupakan bagian dari perbedaan motif untuk pencarian gratifikasi yang muncul dari penggunaan media atau aktivitias lain. Secara bersamaan penggunaan media atau aktivitas lain dapat menghasilkan gratifikasi (atau non-gratifikasi) yang memiliki efek terhadap seseorang atau masyarakat yang akhirnya menciptakan proses yang baru.

Tahun 1980 dan 1990an banyak penelitian yang mulai menganalisa penemuan-penemuan dari penelitian terpisah dan menganggap bahwa penggunaan media massa sebagai sebuah komunikasi terintegrasi sekaligus fenomena sosial (Rubin dalam Ruggerio, 2000:7). Contoh-contoh yang mendukung penelitian pada tahun-tahun ini adalah penelitian yang dilakukan Eastman (1979) yang menganalisa hubungan antara penggunaan media televisi dengan gaya hidup audiens, Ostman and Jeffers (1980) menguji hubungan antara motivasi penggunaan televisi dengan gaya hidup khalayak dan genre telvisi untuk mprediksikan motivasi menonton. Bantz’s (1982) melakukan studi komparatif antara motivasi penggunaan media secara umum dan menonton program televisi tertentu.

Pada tahun 1980-an pula Windahl (dalam Ruggerio, 2000:6) mengemukakan terdapat perbedaan mendasar antara pendekatan efek secara tradisional dan pendekatan teori uses and gratifications dimana penelitian tentang efek sebelumnya selalu berangkat dari perspektif media massa, namun pada penelitian uses and gratifications peneliti berangkat dari perspektif khalayak. Windahl percaya untuk menggabungkan dua pendekatan ini dengan mencari persamaan dari keduanya dan menamai penggabungan ini dengan istiah conseffects.

Berbeda dengan Webster dan Wakshlag (dalam Ruggerio:2000) yang berupaya untuk meningkatkan validitas dari determinan struktural dengan cara menggabungkan perbedaan perspektif antara uses and gratifiactions dengan model pemilihan. Pendekatan ini melihat perubahan antara struktur program, pilihan konten media dan kondisi menonton dalam proses pemilihan program. Penelitian lain juga dilakukan oleh Dobos yang menggunakan model uses and gratifications untuk mengamati kepuasan penggunaan dan pemilihan media  dalam sebuah organisasi yang dapat mempredikasikan pemilihan saluran telvisi  dan kepuasan dengan teknologi komunikasi tertentu.

Tidak bisa dipungkiri dengan adanya perkembangan baru teknologi yang menyuguhkan khalayak dengan banyaknya pilihan media, analisa motivasi dan kepuasan menjadi komponen yang paling krusial dalam penelitian khalayak (Ruggerio, 2000). Setiap kali teknologi komunikasi baru tumbuh, dalam hal ini komunikasi massa, para peneliti kemudian berlomba-lomba untuk mengaplikasikan pendekatan uses and geratifications ini terhadap medium baru tersebut.

Berikut beberapa contohnya adalah :

  1. Donohew, Palmgreen, and Rayburn (1987) yang mengeksplorasi bagaimana kebutuhan untuk beraktivasi berkorelasi dengan faktor-faktor sosial dan psikologis yang berdampak pada gratifikasi yang didapatkan oleh pemirsa televisi kabel.
  2. Walker and Bellamy (1991) meneliti tentang hubungan antara penggunaan pengendali televise jarak jauh dengan ketertaikan audiesn terhadap program tertentu.
  3. Lin (1993) melakukan studi untuk mengetahui jika kepuasaan penggunaan VCR, frekuensi dan durasi penggunaan VCR dan komunikasi antarpersonal tentang VCR berhubungan dengan tiga fungsi VCR yakni hiburan, teknologi pengganti televisi dan utilitas social.
  4. Jacobs (1995) menguji hubungan antara karakteristik sosiodemografis khalayak dan kepuasan menonton pada pemirsa televise kabel.
  5. Perse dan Dunn (1998) meneliti tentang penggunaan computer dan bagaimana kepemilikan CD-Rom dan fasilitas internet dapat berpenganruh tentang kegunaan komputer.
  6. Matthias Rickes, Christian von Criegern, Sven Jöckel (2006) meneliti tentang gratifikasi yang didapatkan dari penggunaan situs-situs internet.

Benang merah tentang penerapan teori uses and gratifications dalam media ini diungkapkan oleh Williams, Phillips, & Lum pada tahun 1985 (dalam Ruggerio, 2000) bahwa setiap peneliti ingin mengetahui apakah media baru dapat memenuhi kebutuhan khalayak yang sama dengan media konvesional yang telah diuji sebelumnya. Ruggerio (2000) sendiri menganggap bahwa dengan banyak pilihan media di masyarakat maka perlu diteliti alasan khalayak untuk terus mengkonsumsi media tertentu dan gratifikasi apa yang mereka dapatkan dari penggunaan media tersebut.

Model Uses and Gratification ini menunjukkan bahwa yang menjadi permasalahan utama bukanlah bagaimana media mengubah sikap dan perilaku khalayak, tetapi bagaimana media memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak (Uchjana, 1993: 289-290).

Studi dalam bidang ini memusatkan perhatian pada penggunaan (uses), media untuk mendapatkan kepuasan (gratification) atas kebutuhan sesorang,maka perilaku khalayak akan dijelaskan melalui berbagai kebutuhan (needs) dan kepentingan individu.

Khalayak/penonton dianggap individu yang aktif, selektif dan memiliki tujuan tertentu terkait dengan terpaan media kepadanya. Artinya individu atau audiens (khalayak) sebagai makhluk sosial mempunyai sifat selektif dalam menerima pesan yang ada dalam media massa. Audiens yang menerima pesan tidak serta merta lagi menerima semua pesan, informasi dari media seperti halnya dalam teori peluru dan model jarum hipodermik melainkan audiens menggunakan media tersebut hanya sebatas memenuhi kebutuhannya sehingga menciptakan kepuasaan dalam dirinya untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.

Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387).

Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).

Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons interactions sebagai berikut :

  1. Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi
  2. Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial
  3. Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai
  4. Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).

Sebanyak apapun tayangan yang tidak mendidik, apabila khalayak menganggapnya tidak penting dan tidak akan memberikan ‘keuntungan’ bagi mereka, tidaklah berpengaruh negatif.

Perkembangan teori Uses and Gratification Media dibedakan dalam tiga fase (dalam Rosengren dkk., 1974), yaitu:

  • Fase pertama, ditandai oleh Elihu Katz dan Blumler (1974) memberikan deskripsi tentang orientasi subgroup audiens untuk memilih dari ragam isi media. Dalam fase ini masih terdapat kelemahan metodologis dan konseptual dalam meneliti orientasi audiens.
  • Fase kedua, Elihu Katz dan Blumler menawarkan operasionalisasi variabel-variabel sosial dan psikologis yang diperkirakan memberi pengaruh terhadap perbedaan pola–pola konsumsi media. Fase ini juga menandai dimulainya perhatian pada tipologi penelitian gratifikasi media.
  • Fase ketiga, ditandai adanya usaha menggunakan data gratifikasi untuk menjelaskan cara lain dalam proses komunikasi, dimana harapan dan motif audiens mungkin berhubungan.

Menurut para pencetusnya Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch menguraikan lima elemen atau asumsi-asumsi dasar dari Uses and Gratification Media sebagai berikutb (dalam Baran dan Davis, 2000)  :

1. Audiens dianggap aktif, dan penggunaan media berorientasi pada tujuan. Artinya khalayak sebagai bagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.

2. Inisiative yang menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan pilihan media spesifik terletak di tangan audiens.

3. Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya memuaskan kebutuhan audiens, kebutuhan yang dipenuhi media lebih luas, bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media amat bergantung pada perilaku audiens yang bersangkutan.

4. Tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak atau audiens, artinya orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.

5. Penilaian tentang artikultular dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.

Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevitch, juga menjelaskan uses and gratification theory meneliti asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.

McQuail (1995) mengatakan ada dua hal yang utama yang mendorong munculnya pendekatan penggunaan ini. Pertama, ada oposisi terhadap pandangan deterministis tentang efek media. Kedua, ada keinginan untuk lepas dari debat yang berkepanjangan tentang sslera media massa.

Model-model kegunaan dan gratifikasi dirancang untuk menggambarkan proses penerimaan dalam komunikasi massa dan menjelaskan penggunaaan media oleh individu atau kelompok-kelompok individu.

Kritik Teori Uses and gratification

Pada derajat tertentu laporan penggunaan media oleh para pemirsanya memiliki keterbatasan-keterbatasan. Banyak orang tidak benar-benar tahu alasan mengapa mereka memilih media atau saluran tertentu, contohnya anak-anak hanya tahu bahwa mereka menghindari menonton saluran yang menayangkan bincang-bincang orang dewasa, atau film berbahasa asing karena mereka tidak mengerti, tetapi anak-anak tersebut tidak benar-benar sadar mereka berakhir di saluran mana.

Walaupun teori ini menekankan pemilihan media oleh para pemirsanya, namun ada penelitian-penelitian lain yang mengungkapkan bahwa penggunaan media sebenarnya terkait dengan kebiasaan, ritual, dan tidak benar-benar diseleksi Teori ini mengesampingkan kemungkinan bahwa media bisa jadi memiliki pengaruh yang tidak disadari pada kehidupan pemirsanya dan mendikte bagaimana seharusnya dunia dilihat dari kacamata para perancang kandungan isi dalam media.

Sebagai contoh saat anak-anak pulang sekolah, sudah menjadi kebiasaannya untuk mengambil makan siang dan duduk dikursi sembari menyetel TV. Tidak ada alasan yang benar-benar nyata mengapa ia menyetel TV dan bukannya membaca majalah atau koran, hanya kebiasaan, atau justru sebaliknya, bagi orang dewasa mungkin ia langsung membaca koran dan bukannya menyetel TV saat meminum kopinya dipagi hari. Pada banyak hal kejadian ini merupakan kejadian alamiah sehari-hari dan tidak dilakukan secara sadar. Walaupun begitu menonton TV dapat juga menjadi pengalaman seni dan menggugah motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu.

Namun sebuah teori yang menyatakan bahwa pemirsa media sebenarnya hanya menggunakan media untuk menyalurkan pemenuhan akan kepuasannya sejujurnya tidak secara penuh dapat menilai kekuatan media dalam lingkup sosial di masa kini. Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan dapat dikatakan tidak sempurna saat digunakan untuk menilai media yang telah digunakan secara ritual (kebiasaan). Namun teori ini tetap tepat untuk digunakan untuk menilai hal-hal spesifik tertentu yang menyangkut pemilihan pribadi saat menggunakan media.

Pengujian-pengujian terhadap asumsi-asumsi Uses and Gratification Media menghasilkan enam (6) kategori identifikasi dan temuan-temuannya (dalam Rosengren dkk., 1974), sebaga berikut:

1. Asal usul sosial dan psikologis gratifikasi media.

John W.C. Johnstone (1974) menganggap bahwa anggota audiens tidak anonimous dan sebagai individu yang terpisah, tetapi sebagai anggota kelompok sosial yang terorganisir dan sebagai partisipan dalam sebuah kultur. Sesuai dengan anggapan ini, media berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan keperluan individu-individu, yang tumbuh didasarkan lokalitas dan relasi sosial individu-individu tersebut.

Faktor-faktor psikologis juga berperan dalam memotivasi penggunaan media. Konsep-konsep psikologis seperti kepercayaan, nilai-nilai, dan persepsi mempunyai pengaruh dalam pencarian gratifikasi dan menjadi hubungan kausal dengan motivasi media.

2. Pendekatan nilai pengharapan.

Konsep pengharapan audiens yang perhatian (concern) pada karakteristik media dan potensi gratifikasi yang ingin diperoleh merupakan asumsi pokok Uses and Gratification Media mengenai audiens aktif. Jika anggota audiens memilih di antara berbagai alternatif media dan non media sesuai dengan kebutuhan mereka, mereka harus memiliki persepsi tentang alternatif yang memungkinkan untuk memperoleh kebutuhan tersebut. Kepercayaan terhadap suatu media tertentu menjadi faktor signifikan dalam hal pengharapan terhadap media itu

3. Aktifitas audiens.

Levy dan Windahl (1984) menyusun tipologi aktifitas audiens yang dibentuk melalui dua dimensi:

    • Orientasi audiens: selektifitas; keterlibatan; kegunaan.
    • Skedul aktifitas: sebelum; selama; sesudah terpaan ( baca handsout ”audiens”)

Katz, Gurevitch, dan Haas (1973) dalam penelitian tentang penggunaan media, menemukan perbedaan anggota audiens berkenaan dengan basis gratifikasi yang dirasakan. Dipengaruhi beberapa faktor. Yaitu: struktur media dan teknologi; isi media; konsumsi media; aktifitas non media; dan persepsi terhadap gratifikasi yang diperoleh.

Garramore (1983) secara eksperimental menggali pengaruh ”rangkaian motivasi pada proses komersialisasi politik melalui TV. Ia menemukan bahwa anggota audience secara aktif memproses/mencerna isi media, dan pemrosesan ini dipengaruhi oleh motivasi

4. Gratifikasi yang dicari dan yang diperoleh.

Pada awal sampai pertengahan 1970-an sejumlah ilmuwan media menekankan perlunya pemisahan antara motif konsumsi media atau pencarian gratifikasi (GS) dan pemerolehan gratifikasi (GO). Penelitian tentang hubungan antara GS dan GO, menghasilkan temuan sebagai berikut GS individual berkorelasi cukup kuat dengan GO terkait. Di lain pihak GS dapat dipisahkan secara empiris dengan GO, seperti pemisahan antara GS dengan GO secara konseptual, dengan alasan sebagai berikut:

    • GS dan GO berpengaruh, tetapi yang satu bukan determinan bagi yang lain.
    • Dimensi-dimensi GS dan GO ditemukan berbeda dalam beberapa studi.
    • Tingkatan rata-rata GS seringkali berbeda dari tingkatan rata-rata GO.
    • GS dan GO secara independen menyumbang perbedaan pengukuran konsumsi media dan efek.

Penelitian GS dan GO menemukan bahwa GS dan GO berhubungan dalam berbagai cara dengan variabel-variabel: terpaan; pemilihan program dependensi media; kepercayaan; evaluasi terhadap ciri-ciri atau sifat-sifat media

5. Gratifikasi dan konsumsi media.

Penelitian mengenai hubungan antata gratifikasi (GS-GO) dengan konsumsi media terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu:

    • Studi tipologis mengenai gratifikasi media.
    • Studi yang menggali hubungan empiris antara gratifikasi di satu sisi dengan pengukuran terpaan media atau pemilihan isi media di sisi lain.

Studi-studi menunjukkan bahwa gratifikasi berhubungan dengan pemilihan program. Becker dan Fruit memberi bukti bahwa anggota audiens membandingkan GO dari media yang berbeda berhubungan dengan konsumsi media. Studi konsumsi media menunjukkan terdapat korelasi rendah sampai sedang antara pengukuran gratifikasi dan indeks konsumsi

6. Gratifikasi dan efek yang diperoleh.

Windahl (1981) penggagas model uses and effects, menunjukkan bahwa bermacam-macam gratifikasi audiens berhubungan dengan spectrum luas efek media yang meliputi pengetahuan, dependensi, sikap, persepsi mengenai realitas social, agenda setting, diskusi, dan berbagai efek politik.

Blumer mengkritisi studi uses and effects sebagai kekurangan perspektif. Dalam usaha untuk menstimulasi suatu pendekatan yang lebih teoritis, Blumer menawarkan tiga hipotesis sebagai berikut:

Motivasi kognitif akan memfasilitasi penemuan informasi.

Motivasi pelepasan dan pelarian akan menghadiahi penemuan audiens terhadap persepsi mengenai situasi sosial.

Motivasi identitas personal akan mendorong penguatan efek.

Source:

Komunikasi Massa suatu pengantar, Drs. Elvinaro Ardianto, M.si., dkk.

(http://www.syukrie.co.cc/2010/06/use-and-gratification-theory-teori_12.html)

(http://adiprakosa.blogspot.com/2007/11/uses-gratification.html)

(http://www.wikipedia.org)

(http://jurusankomunikasi.blogspot.com/2009/04/teory-komunikasi-massa.html)

Video

a. cecile speed painting

“I think it was always important that I make simple images, easy pictures to be appreciated by any kind of person. I talk just for the aesthetic aspect, what strikes in the surface. The abstract parts in my paintings are mixed with a strong realism that helps to approach also people that usually aren’t interested in abstract stuff, the recognizable figure in my painting is as an anchor.”
-agnes cecile